By Salman Rusydie Anwar
Di tengah banyaknya kecaman terhadap
buruknya kinerja birokrasi pemerintah negeri ini, kita justru menyaksikan
deretan mobil-mobil mewah para tersangka korupsi. Kasus terakhir yang masih
hangat adalah ditemukannya sebelas mobil mewah dengan harga miliaran rupiah di
rumah Wawan, adik Gubernur Banten, yang kasusnya menyeret mantan ketua MK, Akil
Mochtar.
Luar biasa. Bagaimana adik sang gubernur bisa
memiliki mobil-mobil yang harganya membuat banyak orang geleng-geleng kepala
itu? Tak penting. Tulisan ini tak akan ikut campur mengupas dari mana muasal
mobil-mobil tersebut diperoleh. Tetapi permasalahannya adalah; mengapa beberapa
orang yang tersangka kasus korupsi justru sangat identik dengan yang namanya
mobil mewah?
Akil Mochtar sendiri memiliki Mersedes Benz
S Class, Audi Q-5, Toyota Crown Athlete. Tiga buah mobil, yang siapapun
melihatnya pasti dibuat ngiler. Padahal
konon, seseorang membeli mobil bisa karena kebutuhan keluarga, alasan pekerjaan
atau bisa juga ajang pamer kekayaan.
Tiga alasan itulah yang mengharuskan
seseorang membeli mobil. Tetapi tidak untuk satu kasus yang kita bahas ini.
Mobil –oleh pejabat korup- ternyata sudah dijadikan alat untuk ‘mengekalkan’ kelimpahan
uang yang diperoleh mereka dengan cara yang remang-remang. Mobil dibeli bukan
lagi untuk menjembatani kebutuhan yang mesti ditunaikan. Akan tetapi untuk
suatu keinginan yang tak pernah sanggup mereka batasi sendiri garis tepinya. Kalau
tidak demikian, untuk apa memiliki banyak mobil mewah yang satuannya berharga ‘wah’. Padahal yang dibutuhkan tetap
tidak lebih dari satu buah mobil saja.
Selain untuk mengekalkan kelebihan uang
yang mereka dapatkan, mungkinkah para pejabat korup itu juga mengalami mobil syndrome sebagaimana warga Amerika
sana? Entahlah. Dari beberapa rentetan kasus tertangkapnya para koruptor, ada mobil
mewah yang selalu menjadi salah satu barang bukti kejahatan mereka.
Kalaupun benar mereka mengalami mobil syndrome, maka ada baiknya para
koruptor atau siapa pun yang berniat untuk korupsi mendengarkan apa yang pernah
dikatakan Marshal Mc Luhan (2008). Luhan berkata, “Orang-orang Amerika tidak
akan pernah mengenal pantangan terhadap mobil. Sebab bagi mereka, mobil adalah
hunian terakhir dimana mereka bisa merasa sendirian di dalamnya.”
Tapi kenapa harus bersendiri? Bukankah ‘kebersendirian’
mereka itu justru mengandung pesan yang terkesan resisten, terutama jika
dilakukan oleh orang-orang yang membauri dirinya dengan balutan simbol-simbol
kemewahan? Dalam kebersendirian seperti itu, terasa ada guratan-guratan kecil
yang menyiratkan betapa gamangnya mereka, betapa gelisahnya karena dengan
begitu mereka seakan tidak menikmati apa yang mereka miliki. Atau, apakah sebenarnya
mereka memang tidak bahagia? Jika demikian, kenapa masih bisa membeli mobil
mewah jika pada akhirnya, dalam kemewahan itu, mereka justru memilih untuk bersendiri,
untuk gelisah?
Rumit memang memahami pilihan-pilihan hidup
manusia modern seperti ini. Maka ada benarnya apa yang dikatakan Blaise Pascal,
“Sesungguhnya manusia (seperti) ini tidak bahagia, karena mereka tidak bisa lagi
tinggal diam sendiri di dalam kamarnya.”
Sama sebagaimana koruptor. Jabatan yang
sudah mereka dapatkan, fasilitas dan hak-hak istimewa yang diberikan kepada
mereka, ibarat “kamar-kamar” yang tak nyaman lagi mereka huni. Mereka menginginkan
keriuhan di luar sana. Sehingga kamar yang seharusnya ditempati dan dijaga
dengan tenang malah dikorbankan oleh keriuhan-keriuhan yang mereka ingin dan ciptakan
sendiri: korupsi.
Ya, korupsi. Bukankah
korupsi dengan sekian proses-proses kejadiannya itu selalu penuh dengan keriuhan.
Korupsi selalu penuh gemuruh oleh munculnya kontroversi dan pertentangan yang
tak usai-usai dalam diri setiap pelakunya. Benar kata kaum bijak, hati nurani
tak bisa dipungkiri. Saat seseorang hendak melakukan satu pelanggaran, pasti
terjadilah tari menarik antara nurani dan nafsu ambisinya. Dus, di saat itulah keriuhanpun terjadi.
Mobil-Mobil
Transendental
Ini hanya istilah saya. Tidak perlu
dipikirkan begitu rupa. Istilah ini semata-mata ingin saya jadikan sebagai
wacana kemungkinan untuk memberi tawaran kepada para koruptor. Bahwa dengan
mobil mewah yang dimiliki, mereka sebenarnya masih ada harapan untuk mengakrabi
nurani mereka sendiri.
Sederhana saja tawarannya. “Kendarailah
mobil mewah Anda sendirian dan menyelinaplah diantara kemacetan jalan. Di saat
itulah Anda memiliki peluang untuk kembali ke dalam diri Anda sendiri.”
Ketidakmampuan
untuk kembali ke dalam diri sendiri, adalah penyakit laten yang kerap
menghinggapi manusia-manusia modern. Ada banyak jenis ‘keriuhan” di luar diri
kita yang membuat kita selalu tertarik untuk mendekatinya, menikmatinya,
memilikinya. Dan godaan-godaan materi yang kerap hadir dengan tampilan
menggiurkan adalah salah satu jenis ‘keriuhan’ yang saya maksud.
Para koruptor, atau justru kita
sendiri, mungkin tak bisa menampik untuk tidak menerima godaan yang demikian. Dan
dalam konteks ini, para koruptor pengkoleksi mobil mewah dengan uang korupsinya
itu, dapat kita anggap benar di satu sisi. Toh
mereka sedang melakoni kewajarannya sebagai manusia yang tak tahan dengan
‘kesendirian’ yang meniscayakan perasaan tidak lengkap, rasa kekurangan. Sehingga
dari sanalah kemudian muncul keinginan-keinginan yang bagi mereka harus ditunaikan.
Dengan cara apapun.
Tetapi pada sisi yang lain, para
koruptor itu pun sepertinya gagal memahami peran mobil mewah yang mereka
miliki. Mobil-mobil mewah itu hanya dijadikan sebagai pajangan koleksi untuk mengekalkan
stigma mereka tentang gaya hidup modern. Padahal, gaya hidup modern tidak
melulu berarti berapa banyak mobil mewah yang kita miliki, melainkan bisa juga tentang
seberapa pintar kita bisa kembali ke dalam diri di tengah macam godaan yang makin
riuh di sana-sini.
Karena itu –lanjut Mc Luhan- mobil
bukan sekadar produk kemewahan material. Sebab pada dasarnya mobil juga
mempunyai nilai kebatinan dimana orang-orang bisa menemukan kesendirian. Ya, ini
sesuatu yang bisa dilakukan oleh para koruptor dengan koleksi mobil-mobil mewah
mereka.
Maka tidak ada salahnya jika mobil
mewah para koruptor itu tidak buru-buru disita. Beri mereka kesempatan untuk
mengendari mobilnya. Siapa tahu, saat mereka terjebak di antara kemacetan
jalan, mereka bisa merenung, meraba alam kesunyatan dan merefleksikan semua hal
tentang dirinya, tentang apa yang telah dilakukannya. Korupsi itulah salah
satunya.
Barangkali
dengan demikian mereka akan sadar, bahwa selama ini mereka telah jauh keluar
meninggalkan ‘kamar-kamar kehormatan’ yang harus dijaganya, mengabaikan sekian tugas
yang harus dijalankan dengan sebenarnya. Siapa tahu mereka bisa insaf dengan
cara begitu. Walau nyatanya kamar penjara sudah setia menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar