Sabtu, 26 Oktober 2013

Mobil-Mobil Ruhani Untuk Koruptor


By Salman Rusydie Anwar

Di tengah banyaknya kecaman terhadap buruknya kinerja birokrasi pemerintah negeri ini, kita justru menyaksikan deretan mobil-mobil mewah para tersangka korupsi. Kasus terakhir yang masih hangat adalah ditemukannya sebelas mobil mewah dengan harga miliaran rupiah di rumah Wawan, adik Gubernur Banten, yang kasusnya menyeret mantan ketua MK, Akil Mochtar. 
Luar biasa. Bagaimana adik sang gubernur bisa memiliki mobil-mobil yang harganya membuat banyak orang geleng-geleng kepala itu? Tak penting. Tulisan ini tak akan ikut campur mengupas dari mana muasal mobil-mobil tersebut diperoleh. Tetapi permasalahannya adalah; mengapa beberapa orang yang tersangka kasus korupsi justru sangat identik dengan yang namanya mobil mewah? 
Akil Mochtar sendiri memiliki Mersedes Benz S Class, Audi Q-5, Toyota Crown Athlete. Tiga buah mobil, yang siapapun melihatnya pasti dibuat ngiler. Padahal konon, seseorang membeli mobil bisa karena kebutuhan keluarga, alasan pekerjaan atau bisa juga ajang pamer kekayaan.
Tiga alasan itulah yang mengharuskan seseorang membeli mobil. Tetapi tidak untuk satu kasus yang kita bahas ini. Mobil –oleh pejabat korup- ternyata sudah dijadikan alat untuk ‘mengekalkan’ kelimpahan uang yang diperoleh mereka dengan cara yang remang-remang. Mobil dibeli bukan lagi untuk menjembatani kebutuhan yang mesti ditunaikan. Akan tetapi untuk suatu keinginan yang tak pernah sanggup mereka batasi sendiri garis tepinya. Kalau tidak demikian, untuk apa memiliki banyak mobil mewah yang satuannya berharga ‘wah’. Padahal yang dibutuhkan tetap tidak lebih dari satu buah mobil saja.
Selain untuk mengekalkan kelebihan uang yang mereka dapatkan, mungkinkah para pejabat korup itu juga mengalami mobil syndrome sebagaimana warga Amerika sana? Entahlah. Dari beberapa rentetan kasus tertangkapnya para koruptor, ada mobil mewah yang selalu menjadi salah satu barang bukti kejahatan mereka.
Kalaupun benar mereka mengalami mobil syndrome, maka ada baiknya para koruptor atau siapa pun yang berniat untuk korupsi mendengarkan apa yang pernah dikatakan Marshal Mc Luhan (2008). Luhan berkata, “Orang-orang Amerika tidak akan pernah mengenal pantangan terhadap mobil. Sebab bagi mereka, mobil adalah hunian terakhir dimana mereka bisa merasa sendirian di dalamnya.”
Tapi kenapa harus bersendiri? Bukankah ‘kebersendirian’ mereka itu justru mengandung pesan yang terkesan resisten, terutama jika dilakukan oleh orang-orang yang membauri dirinya dengan balutan simbol-simbol kemewahan? Dalam kebersendirian seperti itu, terasa ada guratan-guratan kecil yang menyiratkan betapa gamangnya mereka, betapa gelisahnya karena dengan begitu mereka seakan tidak menikmati apa yang mereka miliki. Atau, apakah sebenarnya mereka memang tidak bahagia? Jika demikian, kenapa masih bisa membeli mobil mewah jika pada akhirnya, dalam kemewahan itu, mereka justru memilih untuk bersendiri, untuk gelisah?
Rumit memang memahami pilihan-pilihan hidup manusia modern seperti ini. Maka ada benarnya apa yang dikatakan Blaise Pascal, “Sesungguhnya manusia (seperti) ini tidak bahagia, karena mereka tidak bisa lagi tinggal diam sendiri di dalam kamarnya.”
Sama sebagaimana koruptor. Jabatan yang sudah mereka dapatkan, fasilitas dan hak-hak istimewa yang diberikan kepada mereka, ibarat “kamar-kamar” yang tak nyaman lagi mereka huni. Mereka menginginkan keriuhan di luar sana. Sehingga kamar yang seharusnya ditempati dan dijaga dengan tenang malah dikorbankan oleh keriuhan-keriuhan yang mereka ingin dan ciptakan sendiri: korupsi.
       Ya, korupsi. Bukankah korupsi dengan sekian proses-proses kejadiannya itu selalu penuh dengan keriuhan. Korupsi selalu penuh gemuruh oleh munculnya kontroversi dan pertentangan yang tak usai-usai dalam diri setiap pelakunya. Benar kata kaum bijak, hati nurani tak bisa dipungkiri. Saat seseorang hendak melakukan satu pelanggaran, pasti terjadilah tari menarik antara nurani dan nafsu ambisinya. Dus, di saat itulah keriuhanpun terjadi.

Mobil-Mobil Transendental
Ini hanya istilah saya. Tidak perlu dipikirkan begitu rupa. Istilah ini semata-mata ingin saya jadikan sebagai wacana kemungkinan untuk memberi tawaran kepada para koruptor. Bahwa dengan mobil mewah yang dimiliki, mereka sebenarnya masih ada harapan untuk mengakrabi nurani mereka sendiri.
Sederhana saja tawarannya. “Kendarailah mobil mewah Anda sendirian dan menyelinaplah diantara kemacetan jalan. Di saat itulah Anda memiliki peluang untuk kembali ke dalam diri Anda sendiri.”      
        Ketidakmampuan untuk kembali ke dalam diri sendiri, adalah penyakit laten yang kerap menghinggapi manusia-manusia modern. Ada banyak jenis ‘keriuhan” di luar diri kita yang membuat kita selalu tertarik untuk mendekatinya, menikmatinya, memilikinya. Dan godaan-godaan materi yang kerap hadir dengan tampilan menggiurkan adalah salah satu jenis  ‘keriuhan’ yang saya maksud.
      Para koruptor, atau justru kita sendiri, mungkin tak bisa menampik untuk tidak menerima godaan yang demikian. Dan dalam konteks ini, para koruptor pengkoleksi mobil mewah dengan uang korupsinya itu, dapat kita anggap benar di satu sisi. Toh mereka sedang melakoni kewajarannya sebagai manusia yang tak tahan dengan ‘kesendirian’ yang meniscayakan perasaan tidak lengkap, rasa kekurangan. Sehingga dari sanalah kemudian muncul keinginan-keinginan yang bagi mereka harus ditunaikan. Dengan cara apapun.
        Tetapi pada sisi yang lain, para koruptor itu pun sepertinya gagal memahami peran mobil mewah yang mereka miliki. Mobil-mobil mewah itu hanya dijadikan sebagai pajangan koleksi untuk mengekalkan stigma mereka tentang gaya hidup modern. Padahal, gaya hidup modern tidak melulu berarti berapa banyak mobil mewah yang kita miliki, melainkan bisa juga tentang seberapa pintar kita bisa kembali ke dalam diri di tengah macam godaan yang makin riuh di sana-sini.   
       Karena itu –lanjut Mc Luhan- mobil bukan sekadar produk kemewahan material. Sebab pada dasarnya mobil juga mempunyai nilai kebatinan dimana orang-orang bisa menemukan kesendirian. Ya, ini sesuatu yang bisa dilakukan oleh para koruptor dengan koleksi mobil-mobil mewah mereka.
       Maka tidak ada salahnya jika mobil mewah para koruptor itu tidak buru-buru disita. Beri mereka kesempatan untuk mengendari mobilnya. Siapa tahu, saat mereka terjebak di antara kemacetan jalan, mereka bisa merenung, meraba alam kesunyatan dan merefleksikan semua hal tentang dirinya, tentang apa yang telah dilakukannya. Korupsi itulah salah satunya.  
Barangkali dengan demikian mereka akan sadar, bahwa selama ini mereka telah jauh keluar meninggalkan ‘kamar-kamar kehormatan’ yang harus dijaganya, mengabaikan sekian tugas yang harus dijalankan dengan sebenarnya. Siapa tahu mereka bisa insaf dengan cara begitu. Walau nyatanya kamar penjara sudah setia menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar