Selasa, 29 Oktober 2013

Cuplikan Sarudin


Tuhan Disingkirkan

"Oleh manusia, Tuhan seringkali dihalang-halangi untuk hadir dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas kehidupannya. Tuhan dijauhkan, dilemparkan dari peradaban dan pola pikir manusia yang semakin maju. Tuhan tidak diperbolehkan mengontrol politik, hukum, tidak diperkenankan ikut menentukan kebijakan, mengelola keuangan dan menata keadilan. Manusia hanya sesekali saja mengundang-Nya dalam doa, itupun kalau sudah keadaan begitu gawat. Maka jangan heran kalau doa-doa yang sering dipanjatkan tak kunjung membuat Tuhan datang dan mengabulkan. Salah kita sendiri karena selama ini kita telah menjauhkan-Nya sedemikian rupa," (Sarudin)

Hati Yang Vibratif (Buzz)
"Jika engkau sering memberikan nasehat kepada orang lain tetapi orang-orang yang kau nasehati tak kunjung berubah menjadi baik, maka jangan salahkan mereka apalagi menudingnya sebagai manusia berhati batu. Coba periksa lagi dirimu, kekhusyukanmu dan kesucian hatimu. Kau gagal memberi nasehat mungkin karena vibrasi batinmu lemah sehingga ribuan nasehat yang kau lontarkan tak kunjung menggetarkan kesadaran orang-orang." (Sarudin)

Doa
"Engkau setiap hari berdoa, anakku. Namun seringkali dalam keyakinanmu, Tuhan tidak benar-benar engkau posisikan sebagai penentu utama dari terkabulnya doa itu. Tuhan engkau posisikan hanya sebagai kekuatan sampingan belaka karena yang paling engkau percayai dalam hidupmu adalah dirimu sendiri, ilmumu, keterampilanmu, relasi-relasi yang kau miliki, status sosial dan jumlah hartamu." (Sarudin)

Dosa
"Nak, kau boleh melakukan dosa terus-menerus kepada Allah asal kau memiliki keberanian untuk dua hal. Berani memohon ampun dan berani menahan siksa-Nya." (Sarudin).

Keyakinan
"Sebagai tebusan atas kurangnya keyakinanmu bahwa Tuhan akan bertanggung jawab terhadap rizkimu, maka bekerjalah sekuat tenaga. Kecuali kualitas imanmu sudah menyamai Abu Bakar Shiddiq, yang ketika ditanya bagaimana nasib keluarganya setelah semua harta yang ia miliki diserahkan untuk kepentingan agama, ia dengan entengnya menjawab, "Aku pasrahkan mereka semua kepada Allah." (Sarudin)

Berlebihan
"Hei, Cucu! Seperti apa berlebih-lebihan itu ukurannya memang sangat subjektif. Tetapi jangan terlalu subjekti sampai membuatmu egois, dan juga harus ada keberanian untuk membandingkan secara diametral antara kamu dan orang lain. Misal, kalau kamu punya 25 potong baju, sementara orang di sampingmu hanya punya 6 potong, maka di hadapan kondisi semacam itu kamu bisa disebut berlebih-lebihan. Maka spirit agamanya bukanlah seberapa kuat kamu membeli banyak baju, tetapi seberapa kuat kamu menahan diri untuk tidak memiliki baju lebih di saat rekanmu itu malah kekurangan baju.” (Sarudin)

Masalah Dalam Hidup
"Masalah boleh menggerus hidupmu. Problem boleh melindas-lindas jiwamu. Tetapi engkau diijinkan hidup oleh-Nya bukan untuk menikmati ketergerusan dan keterlindasan tanpa mau belajar melakukan apa yang harus diperbuat setelah itu. Hidup itu bagaikan pohon mawar dengan segenap duri-durinya. Saat kau melihat mawar itu, jangan fokuskan hanya pada tajam runcing duri-durinya. Tetapi tataplah pada kelompaknya. Ada pucuk sari yang menandakan bahwa harapan itu masih ada dan bertahta di atas segala." (Sarudin)

Rakyat Kecil-Rakyat Besar
“Kita, boleh saja hidup di bawah kepemimpinan orang-orang yang tidak jujur, suka menipu, dan suka memprovokasi agar terjadi kekerasan. Tetapi, kita harus memiliki prinsip untuk tetap menjadi rakyat yang jujur, tidak suka menipu, santun, ramah dan rendah hati. Sebab kalau tidak begitu, apa lagi yang bisa kita banggakan sebagai rakyat kecil. Boleh saja dalam konteks bernegara serta dalam pandangan sesama manusia kita disebut sebagai rakyat kecil karena posisi kita memang dipimpin, bukan memimpin. Tetapi di hadapan Tuhan, kita justru bisa menjadi rakyat besar (manusia mulia dan bermartabat) dengan kegigihan kita memegang dan menjalankan prinsip-prinsip di atas. Cuma masalahnya, kita seringkali berambisi untuk menjadi pribadi-pribadi yang terpandang di hadapan mata lamur sesama manusia, namun kurang berambisi untuk menjadi manusia terpandang di mata Tuhan.” (Sarudin) 

Dari Energi Takbir ke Energi Sosial
“Aku berpikir bahwa shalat itu memang peristiwa besar (vertikal-spiritual) yang efek vibrasi ruhaninya harus mampu memberikan pengaruh positif kepada hal-hal “kecil” (horizontal-sosial). Lihat saja, ia dimulai dengan takbir, sebuah prosesi berdimensi ruhani dimana kita tidak boleh tidak harus menghilangkan segala bentuk egoisme diri dan hanya mengagungkan Allah yang Maha Besar. Lalu kemudian ia ditutup dengan salam, sebuah pernyataan cinta dan upaya menebar kasih sayang kepada siapa saja. Maka wajar kalau Rasulullah berkata bahwa shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang yang beriman. Dan sebagaimana Rasulullah yang tidak menetap di langit dan memilih untuk kembali ke bumi guna menebar kasih sayang dan kesejahteraan, maka sejatinya seperti itulah kita yang masih rajin shalat; mengagungkan Allah semata untuk kemudian menaburkan kasih sayang pada sesama.” (Sarudin)

Manusia-Manusia yang Diremehkan
“Ketika engkau dilecehkan orang lain atas adanya suatu kekurangan pada dirimu, maka bersabarlah. Sedapat mungkin tahanlah ego dan amarahmu. Kau hanya perlu percaya bahwa siapa saja yang melecehkan pasti mereka juga akan dilecehkan. Dan kau juga perlu sadar bahwa orang yang melecehkanmu maka itulah kekurangan yang ada pada dirinya. Dan kau tak perlu balas melecehkan kekurangan mereka.” (Sarudin)   

Posisi Derajat Nabi
"Posisi derajat Rasulullah itu sendiri sebenarnya jauh melampaui ruang. Tak bisa dibekap oleh waktu. Maka baginya tak berlaku lagi segala bentuk anggapan-anggapan, entah itu baik atau buruk. Jika Rasulullah baik dan suci maka hal itu bukan karena anggapan dan sanjungan dari umatnya, melainkan karena Tuhan sendiri yang menghendakinya demikian. Dan ketika Tuhan menyelimuti kekasihNya itu dengan kebaikan, maka pelecehan mana yang sanggup mengebiri kebaikannya."(Sarudin)

Perihal Kekecewaan
"Seperti biasa, ada orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh, setengah sungguh-sungguh dan sama sekali tidak sungguh-sungguh namun tetap diperlihatkan sebagai sebuah kesungguhan. Karena sedemikian kompleksnya kandungan hati dan kepentingan setiap manusia, engkau harus terus berdoa kepada Tuhan agar diberi penglihatan yang jernih untuk bisa membedakan dari ketiga tipe orang seperti itu. Sebab kalau tidak begitu, engkau harus kembali mempersiapkan diri untuk kecewa karena orang yang engkau sangka bersungguh-sungguh itu bisa saja sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Engkau boleh ambil contoh tentang pemberantasan korupsi misalnya atau apa saja yang berhubungan dengan pengalaman dan realitas hidupmu. Tetapi semua tahu, bahwa sebagai rakyat kecil engkau sudah terlalu sering dikecewakan. Sehingga siapa saja patut khawatir, karena terlalu seringnya kecewa, engkau lantas menjadi imun terhadap kekecewaan itu sampai engkau diam-diam tetap bersedia untuk terus dikecewakan dan menganggap semua itu adalah kejadian yang biasa-biasa saja." (Sarudin) 

Dhuha
“Balasan berupa harta dunia dari shalat Dhuha yang kau kerjakan adalah bonus dari pahala yang lebih hakiki. Yaitu bertambah dekatnya engkau kepada-Nya dan bertambah kuat pengabdianmu pada keagungan-Nya. Jika melalui Dhuha hatimu telah berpaut erat dengan-Nya dan kemesraanmu sudah tak lagi terkirakan bersama-Nya, maka harta duniamu yang berlimpah-limpah itu tentu tak akan berhuni begitu dalam di ceruk hatimu dan engkau dapat mentasharrufkannya dengan begitu mudah seolah-olah engkau berludah dan membuang upil.” (Sarudin)

Dosa Tanpa Api Neraka
“Ketika dosa telah engkau anggap menyenangkan dan begitu manis untuk dinikmati, maka engkau akan selalu gagal untuk menghindarinya. Engkau telah tersihir begitu rupa olehnya. Maka ingatlah kata-kata Iqbal, 'Hidupkan laku ibadat Musa segala sihir akan hilang kegunaannya.' Jika hidupmu terus-terusan dipenuhi oleh dosa
sampai kelak ajalmu tiba, jangan berharap engkau akan dilempar ke dalam neraka. Sebab api neraka itu itupun akan enggan membakarmu karena tidak ingin kesuciannya terkotori oleh dosa-dosamu. Maka pikirkanlah. Jika neraka saja enggan membakarmu karena tidak ingin terkotori oleh dosamu, kemana lagi engkau akan terempas selain ke dalam kemurkaan-Nya. Dan kemurkaan Allah itu jauh lebih membara panasnya dari kobaran-kobaran api itu sendiri."(Sarudin)

Dari Allahu Akbar Sampai Seekor Kucing
"Jika engkau teriakkan kalimat Allahu Akbar dengan suara lantang dan wajah garang memerah seperti orang sedang marah, maka aku dapat memahamimu dengan dua hal. Pertama, kau mungkin merasa Allah itu jauh darimu dan karenanya kau teriakkan nama-Nya yang Agung itu dengan harapan biar Dia mendekat. Kedua, mungkin saja Allah sudah begitu dekat dengan dirimu namun sayangnya selama ini kau melupakan-Nya sehingga teriakanmu itu berfungsi sebagai pengingat terhadap kelupaanmu itu."
Seperti biasa, kalau sudah disuguhi kopi dan rokok, sahabat dan guru saya Sarudin ini langsung berkhotbah. Tidak peduli temanya apa. Yang ada di dalam batok kepalanya, itulah yang ia sampaikan. Seperti apa yang ia katakan di atas itu. Tanpa babibu, ia langsung nerocos sambil menghisap LA Mentholku yang tinggal dua batang. Dan seperti biasanya juga, saya selalu berusaha menimpali meski kerap dengan keadaan terpaksa.
“Lalu bagaimana jika ada orang berteriak-teriak mengumandangkan takbir pada saat ia melihat indahnya pemandangan alam, Bang?” tanyaku.
“Apa memang ada orang seperti itu?” katanya balik bertanya. “Mungkin ada tapi sedikit. Atau bahkan jarang dan mungkin tidak ada sama sekali. Biasanya, orang yang terpesona oleh keindahan alam ciptaan Tuhan, maka pekikan takbirnya lantang menggema hanya di kedalaman kalbu mereka. Dan meski begitu, getaran takbirnya tetap memendar ke segala penjuru.”
“Terus menurut Abang takbir itu harus kita perlakukan seperti apa, dong?”
“Salman! Lama-lama ketololanmu makin membengkak juga ya. Takbir atau bacaan Allahu Akbar itu, kalau engkau renungkan, maka ia layaknya sebuah benteng, sebuah penghalang, yang menghalangi kecenderunganmu untuk berlaku sombong, menganggap bahwa diri kamu sendiri yang paling benar, paling suci, paling mengerti agama, paling tahu apa maunya Tuhan. Ketika engkau membaca Allahu Akbar, maka engkau sebenarnya sedang mengkarantina apa pun yang kau miliki dan kau anggap pantas untuk disombongkan, dibangga-banggakan. Sebab yang besar dan tidak ada yang melebihi kebesarannya itu hanyalah Tuhan. Hanyalah Allah. Dan kau tak lebih dari butiran-butiran debu yang dapat terpental jauh dan terjerembab oleh sekadar dengus nafas seekor kucing.”
“Lho. Kok kucing. Apa hubungannya?”
“Itu lihat. Kucingmu datang mau minta makan. Sana, kasih makan dulu!”
(Sarudin)

Banjir Ibu Kota Jakarta
"Di Jakarta, kita mungkin dapat menemukan sedemikan banyak definisi banjir. Dan kita perlu mengurainya. Satu persatu. Agar genangannya tidak mengancam keselamatan, tidak menenggelamkan segala sesuatu yang mustinya hidup, tumbuh dan berkembang. Mari terus berdoa untuk Jakarta dan segenap orang-orang yang berdiam di dalamnya. Lupakan sejenak meski dari Ibu Kota Jakarta itu pula kita kerap mendengar banyak hal yang kurang menyenangkan dan memalukan. Semoga banjir di Ibu Kota Jakarta kali ini mampu menggerakkan pemerintah membangun tanggul-tanggul yang kokoh. Tidak hanya tanggul di luar namun juga tanggul-tanggul di dalam diri kita agar banjir yang dianggap menyengsarakan ini bukan lagi dipahami sebagai luapan air, namun juga bisa luapan ambisi, luapan keserakahan, luapan kebohongan, luapan ketidakpedulian dan sebagainya dan sebagainya." (Sarudin)

Tak Usah Kampanye
Selesai mandikan Ataka anakku, Sarudin muncul. Manusia aneh ini langsung aja ceramah depan pintu, "Niat untuk berbuat baik itu bagus. Tetapi yang kadang menjadikannya kurang elok adalah keinginan untuk menggembar-gemborkannya sebelum niat itu dilakukan. Bahkan juga akan menjadi kurang elok kalau harus pake acara publikasi segala bahwa kita telah berbuat baik ini dan itu. Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah membuat suatu gambaran, kalau tangan kananmu memberi shadaqah maka jangan sampai tangan kirimu tahu. Ini semacam ilmu bahwa mempublikasi perbuatan baik itu tak semuanya baik."
Saya protes, "Tapi bagi saya itu juga perlu dilakukan Bang biar jadi contoh teladan yang baik bagi orang lain."
"Semprul kamu. Gaya sekali kamu ingin diteladani orang lain. Kalau kamu berbuat sesuatu hanya karena ingin diteladani orang, maka perbuatanmu batal, dodol," sahut Sarudin.
"Ya nggak juga, Bang. Saya berbuat baik karena Allah, tapi apa salahnya jika saya perlu cerita apa yang sudah saya lakukan biar orang lain juga tertarik untuk melakukannya," jawab saya.
"Wadalaah, ini aku yang belum ngomongkan atau kamu yang goblok. Ingat, orang bisa mengambil pelajaran dari orang lain bukan karena perbuatan baiknya, tapi bisa juga dari perbuatan buruknya. Kalau begitu, kamu beritakan juga donk kalau kamu dulu itu ya maling, pemabuk, pecandu wanita. Siapa tahu orang lain bisa ngambil pelajaran."
"Nah, yang itu aib Bang, jadi tak perlu diomongkan."
"Perbuatan baik yang diomong-omongkan juga tak ada jaminan akan bernilai baik. Ia juga bisa menjadi aib. Sebab kalau orang sudah senang memberitakan amal baiknya pada orang lain, maka batas antara keikhlasan dan riya'nya itu sangatlah tipis. Mungkin ini sebabnya, Kanjeng Nabi menyuapi si Yahudi buta diam-diam sampai-sampai Abu Bakar sendiri baru tahu sesudah beliau meninggal."
"Itu kan Nabi, Bang. Beda, tak bisa ditiru dia." aku membela diri
"Sompret. Terus kamu mau niru siapa, Mak Lampir, Genderuwo, Abu Jahal. Sotoy lo ya. Dasar otak kadal."
(Sarudin)
 
Perang Lebay

Semalam sehabis ngajari anak-anak baca Al-Qur’an, sahabat saya si Sarudin datang. Lalu seperti biasa dia ngajak diskusi. Cuma kali ini yang dia bicarakan soal banyaknya poster berisi gambar-gambar calon pejabat plus kata-kata yang menurutnya super lebay bin alay itu.
“Ternyata,” kata Sarudin, “Tidak semua calon pejabat itu sama sifat kepribadiannya dengan apa yang diiklankan, atau paling tidak mendekati sama dangan kalimat-kalimat yang ditampilkan di poster-poster pinggir jalan.”
“Kok bisa begitu, Bang?” tanya saya.
“Tentu saja. Sebab yang utama bagi mereka adalah ngiklan dulu, lebay dulu, narik perhatian dan simpati massa dulu, memperoleh calon pemilih sebanyak-banyaknya dulu. Persoalan dia tidak jujur-jujur amat sebagaimana yang dituliskan di poster, itu kan urusan lain. Yang penting lolos dulu jadi pejabat,” jawabnya sambil nyalakan rokok.
“Wah, kalau begitu berbahaya donk, Bang. Orang yang memilihnya jadi tertipu semua. Disangka jujur eh kok malah lacur,” sela saya.
“Memang berbahaya. Tetapi kan hanya orang-orang dungu yang tetap maksa melakukan hal-hal berbahaya meskipun ia tahu kalau itu berbahaya. Hanya orang-orang sinting yang berani mengambil resiko akibat dari kebohongannya dengan cara mengatakan bahwa dia adalah sosok yang jujur.”
Wah…kau berlebihan, Bang. Memangnya Abang anggap semua calon pejabat itu buruk, tidak jujur? Penilaian Abang kurang objektif juga kalau begitu. Sebab nyatanya ada juga toh diantara mereka yang baik,” sergah saya.
“Saya setuju saja, bahwa tidak semua calon pejabat, calon anggota DPR itu semuanya buruk, penipu dan tidak jujur. Tetapi yang saya kurang setujui adalah keputusan mereka untuk menjejali masyarakat dengan kata-kata super lebay dan alay itu. Rakyat itu tidak butuh kata lebay. Pun juga mereka sangat tidak butuh untuk diyakinkan dengan menggunakan jargon-jargon yang berlebihan mengenai calon pemimpinnya. Rakyat terlalu sakit hatinya untuk disakiti kembali dengan kata-kata gombal penuh rayuan.”
“Lalu gimana donk?”
“Seandainya mereka benar-benar ingin berjuang untuk rakyat, mestinya jauh-jauh hari sebelum diadakan pemilu mereka sudah melakukan sesuatu untuk mereka. Mereka seharusnya turun menyambangi kampung penderitaan rakyat minimal lima tahun sebelum pemilu dilangsungkan. Tapi kalau para calon pejabat itu baru mau menemui rakyat pada saat-saat menjelang pemilu, dan itupun dengan cara menjual tampang dan kata-kata, maka apakah itu tidak lebay namanya. Lebay sangat itu.”
Saya mengangguk.
“Tapi Bang Sarudin percaya kan bahwa tidak semua calon pejabat, baik calon gubernur, presiden, bupati dan anggota DPR itu semuanya buruk?”
“Percaya. Dua ribu riyus kagak pake ngutang saya percaya,” jawabnya.
“Itu artinya, kalau misalnya suatu waktu nanti saya mau nyalon jadi anggota DPR, Bang Sarudin mau kan bantu saya?”
“Bantu apaan?”
“Bantu buatkan kata-kata yang bagus, indah dan yaa…lebay itu tadi. Biar orang-orang yakin memilih saya dan saya juga pun dengan kata-kata itu jadi makin pede untuk terus maju mencalonkan diri.”
Sarudin diam sejenak. Seperti sedang memikirkan satu jawaban yang tepat untuk pertanyaan saya.
Pren,” katanya tiba-tiba, “Aku tahu kamu itu orang baik, jujur. Aku juga percaya kalau kamu bakalan bisa menjadi pejabat yang bersih dan bermartabat. Apalagi yang aku tahu, kamu itu juga sholeh, hatinya suci dan pikirannya bersih. Cuma ada satu hal yang perlu kamu sadari.”
“Apa itu, Bang?”
“Orang yang benar-benar sholeh, jujur, benar-benar setia pada perjuangannya, bersih pikirannya dan suci hatinya, mereka sudah tidak butuh untuk diiklankan, diposter-balehokan. Ia tidak lantas menjadi tambah percaya diri karena taburan kata-kata mengenai dirinya dan pujian-pujian atas dirinya. Jadi ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang rasa percaya dirinya buruk. Semakin mereka tidak percaya diri, maka semakin banyaklah ia menyebar kata-kata mengenai siapa dirinya. Semakin gencarlah ia membalehokan kehabatan-kehebatannya. Kau paham toh?”
Saya mengangguk dan saya lihat Sarudin menguap penuh kantuk.

Kematian-Ketakterdugaan
"Semua makhluk yang bernyawa pada akhirnya akan mati. Dan kematian itu sendiri adalah bukti, betapa kita ini sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan kehidupan dari kematian. Minggu lalu, tetangga saya di Madura meninggal dunia. Kemarin, tetangga saya di Kebumen dan juga seorang teman di Jogja meninggal dunia. Ya, kematian selalu menyisakan kesedihan dan kehilangan, terutama bagi keluarga, sahabat dan rekan-rekan terdekat. Tuhan merahasiakan betul kapan kematian seseorang akan datang, agar kita senantiasa memiliki kesadaran untuk sedari awal melakukan persiapan. Kematian adalah ketidakterdugaan. Ia bisa datang menit ini atau waktu nanti kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Orang yang hanya fokus memikirkan kehidupannya, kemungkinan ia lengah pada kematiannya. Sementara orang yang hanya fokus memikirkan kematiannya, kemungkinan ia juga lengah pada kehidupannya. Tidak, agama tidak mengajari kita menjadi manusia yang lengah. Justru, agama mengajari kita untuk selalu menjadi manusia waspada. Sedangkan kewaspadaan itu hanya bisa dilakukan saat kita masih bersanding dengan kehidupan. Selama hidup dijalani dengan waspada, kematian yang tak terduga itu insya Allah bisa kita jalani dengan senyum tawa. Selamat jalan kepada teman dan tetangga saya yang sudah tiada. Marilah kita yang hidup selalu waspada sebelum tiada."

Jam Dinding dan Kita
Lihatlah sebuah jam. Pilihlah angka 11 atau angka mana saja yang kita suka. Pada angka itu, kedua jarum jam selalu saja menciptakan momentum-momentum berupa saling mendekati dan juga sebaliknya, menjauhi. Jam 11 kurang 11 (pasti bakal mendekati 11:00), atau jam 11 lewat 11 (pasti akan menjauhi 11:00). Dan kita baru menyebutnya jam 11 pas kalau kedua jarum jam tersebut sudah tak menciptakan atau kosong dari moment-moment itu lagi, makanya kita sebut jam 11:00. Namun karena proses itulah waktu terus terasa hidup. Mungkin sama seperti dirimu bagiku. Tidak semuanya dari dirimu, baik pikiran dan sikapmu yang benar-benar pas, sama atau sejalan dengan pikiran dan sikapku. Kalaupun ada, itu hanya sesaat. Sama seperti jam 11:00 yang waktunya hanya sebentar itu. Tetapi kita tidak perlu merisaukan persamaan walaupun terjadi hanya sebentar. Sebab ia tercipta dari moment-moment yang saling mendekatkan dan mempertemukan. Itulah yang membuat kita seperti terus memiliki harapan untuk selalu menyatu dan menanti kebersamaan yang pasti terwujud. Jam 11 kurang 30 atau 50 tak berarti apa-apa karena angka kekurangan itu adalah perjalanan, proses untuk saling mendekati persamaan, ke-pas-an. Dan biarpun pada akhirnya ada ketidak-pas-an atau sebuah sikap yang berbeda dan menjauh, seperti jam 11 lewat 02, 10,30,40 dan seterusnya, kita pun tak usah risau. Toh, jarum jam masih berputar, dan kita masih memiliki kesempatan untuk saling mendekati lagi, menciptakan kesamaan, keselarasan dan ke-pas-an di waktu-waktu yang pasti datang. Maka, perbaikilah jam dindingmu, dan gantilah baterenya dengan yang baru agar kita bisa mudah membaca waktu dan tak kecewa meski harus menunggu.
(Sarudin)

Kebenaran dan Perang
Saya melakukan ini berdasarkan dalil yang saya yakini benar dan kuat kedudukannya.
Sedang kamu tidak melakukan yang saya kerjakan juga berdasar dalil yang kamu yakini kuat & benar.
Dan kamu sendiri, melarang, mencerca, dan mengutuk-ngutuk apa yang saya lakukan juga berdasar dalil yang kuat dan kau yakini kebenarannya.
Lalu kita bertengkar demi suatu kebenaran yang kita sama-sama yakini paling benar.
Sedemikian serunya pertengkaran kita itu. Sedemikian panasnya perdebatan kita itu. Saling mengerami geram. Saling menegang-negangkan urat leher. Saling mengumbar amarah. Bahkan kalau perlu, kita pun saling mengincar untuk saling menikam. Saling menumpahkan darah demi menegakkan kebenaranmu atas ketidakbenaranku. Atau kebenaranku atas ketidakbenaranmu. Kita yang bergeriung di sini, mengalirkan bising ke langit sana. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penuh Ampun hanya berseru dengan heran, “Mau apa mereka?” Para malaikat yang turut menyaksikan hanya berdesah, “Hambapun tak banyak mengerti.” Sementara kita, makin menyiapkan diri untuk terus mangasah pedang, memancangkan tiang permusuhan, mengibarkan kesumat dendam sambil diam-diam mempersilahkan para setan iblis menjadi komandan.
(Sarudin)   

Masa Depan
“Masa depan, jika masih berorientasi kepada masalah-masalah dunia kemungkinan masih bisa teraba wujudnya dan bisa digapai hasilnya. Tetapi kalau sudah menyangkut nasib diri di hadapan-Nya, baik menjelang kematian, alam kubur, hari perhitungan, surga atau neraka, sungguh terasa sulit untuk memastikannya. Bagaimana cara kematian menjemputku, bagaimana alam kubur menerima kehadiranku, di hari perhitungan seperti apakah kondisiku, surga atau nerakakah tempatku adalah pertanyaan yang harus terus digali dan dimunculkan jawabannya di sepanjang jalan hidup yang masih tersisa ini. Memang mengkhawatirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Hanya doa dan keyakinan yang barangkali sanggup memberikan ketenteraman.”
(Sarudin)

Tuhan yang Satu untuk Semua
Ada satu ungkapan bijak orang Madura, "De-emma'ah kéya. Jha' Pangéran séttong ékarobhudhi."(Emang dia maunya apa, lha wong Tuhan yang Esa itu untuk kita semua kok). Atau kalau pakai bahasa ngapak ala Betawi bisa berarti, "Emang ente maunya ape?. Kagak nyadar apeh, Tuhan itu emang satu. Tapi Die milik kita pade."
Anda yang berasal dari Madura boleh tanya kebenaran dari adanya ungkapan ini. Hanya saja begitulah orang Madura memahami pluralitas yang berkembang. Di dalam ungkapan itu terselip kedewasaan dan kematangan batin yang meniscayakan seseorang untuk tidak berlaku semena-mena pada orang lain. Men-judge seenak perut sendiri pada orang lain yang ideologinya tak seirama dengan kita.
Menganggap bahwa hanya ideologi kita yang paling benar tentu itu baik. Agar dengannya kita bisa lebih terlatih memegang prinsip. Tetapi yang kurang elok justru apabila kita menahbiskan diri sebagai yang terbaik sambil lalu menghujat orang lain sebagai yang terjelek. Ini seperti orang yang memuja hidungnya sendiri yang mancung dengan memencet hidung orang lain yang pesek. Mengelus bibir sendiri yang sensual dengan memelintir bibir orang lain yang dower.
Mohon maaf bagi pemilik hidung pesek dan bibir dower. Anda tak perlu tersinggung apalagi iri pada saya yang kata embu' hidung saya ini mirip Sakh Rukh Khan dan bibir saya mirip Angelina Jolie. Saya percaya saja apa kata embu'. Dia tentu tidak sedang memfitnah saya. Baik pesek dan mancung, dower dan sensual sejatinya berasal dari Tuhan yang Satu yang kata orang Madura itu ékarobhudhi kan.
(Sarudin)

Ya Jangan Sombong
"Kalau kita sendiri tak bisa menjamin, apakah satu menit hingga lima menit ke depan kita masih akan hidup dan melihat gemerlapnya dunia, maka jangan biarkan kesombongan menyesaki ruang dada. Kecuali kita memiliki keberanian untuk jauh terbuang dari kasih sayang dan ampunan-Nya."
(Sarudin)

Minuman Keras
Seorang santri bertanya, "Pak, kenapa Tuhan mengharamkan kita minum minuman keras?" Bingung juga menjawabnya. Saya sodori ayatnya dengan harapan bahwa itu memang perintah Tuhan, dianya masih belum mau menerima. Akhirnya dapat juga jawaban yang membuat dia mengangguk-angguk. "Karena," kata saya, "Tuhan amat sayang sama kita dan Dia nggak rela kalau kita jadi gila, nggak waras, sakit dan mati hanya karena sebuah benda cair itu." Semoga jawaban ini bisa bermanfaat buat dia meski ngajinya sebulan sekali....heheee

Tahlilan
Sehabis tahlilan, Sarudin ditunggu tetangganya yang justru antipati terhadap tahlilan. Jangankan ikut bertahlil, mendengar kata tahlil saja raut wajahnya merah padam penuh amarah seperti mendengar bisikan iblis yang mengajaknya dugem. Melihat tetangganya itu, Sarudin sudah bisa nebak apa keperluan dia.
"Dari mana, Bang?" tanya tetangganya yang laki itu.
"Biasa. Habis tahlilan," jawab Sarudin.
"Ah..tahlil lagi...tahlil lagi. Emang nggak tahu apa, kalau tahlil itu bid'ah?"
"Biarin aja bid'ah."
"Kok biarin. Bid'ah itu sesat, Bang. Masuk neraka. Nggak takut masuk neraka apa?"
"Takut sih, kalau yang nentuin saya masuk nerakanya itu kamu. Tapi kalau Tuhan yang kepengen masukin saya ke neraka, ya sudah, saya ikuti saja kehendakNya. Apapun kehendak Dia, insya Allah akan menjadi surga buat saya."
"Meski Tuhan menghendaki Abang ke neraka?"
"Iya."
"Ah, Abang ini pikirannya sudah sesat rupanya."
"Makanya saya ikut tahlil, biar saya nggak sesat."
"Halah....susah ngomong sama Abang."
"Udah tahu susah, masih aja nguber-nguber saya."
"Kalau begitu saya mau pulang."
"Pulanglah sana. Saya juga mau makan nasi berkat nih. Nasi Berkat Bid'ah ini namanya. Pasti nikmat. Bismillah." Sarudin mesem-mesem saja melihat raut wajah tetangganya yang keruh, mahal senyum. “Seperti wajah-wajah penghuni neraka," katanya dengan lirih.





 




  















Senin, 28 Oktober 2013

Kosmos Noetos Sumpah Pemuda

By Salman Rusydie Anwar


 
Mak! Delapan puluh lima tahun sudah Sumpah Pemuda dikumandangkan. Sebuah pernyataan dan ikrar luhur dari sekelompok pemuda, yang menegaskan sikap cinta mereka untuk bangsa Indonesia yang sekarang malah tak jelas nasibnya. 

Aku yakin, Mak! Para pemuda yang hadir dalam kongres bersejarah itu memiliki ide yang baik untuk masa depan bangsa ini. Mereka pun pasti memiliki gagasan cemerlang dan tidak sembarangan menorehkan tiga bait sumpah yang oleh pemuda-pemuda masa kini mungkin sumpah-sumpah itu seperti dianggap tidak ada sama sekali.

Tetapi, itu tidak masalah, Mak! Sumpah Pemuda yang menyiratkan keinginan para untuk menjadikan tanah air Indonesia sebagai tanah tumpah darah yang satu, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa kita yang satu dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, memang tak lebih dari "dunia ide" di benak mereka.

Dan Sumpah Pemuda sebagai "dunia ide" jelas tak akan pernah melahirkan makna sama sebagaimana yang diinginkan oleh pemuda-pemuda masa itu. Lihat sekarang, Mak! Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita bertumpah darah di atas tanah air yang satu, nyatanya ancaman tumpah darah yang sebenarnya (disintegrasi) kerap menjadi hantu. Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita berbangsa satu, faktanya masing-masing orang senang menonjolkan organisasi dan kubu-kubu. Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, riilnya banyak orang yang justru saling adu bahasa caci maki melulu.

Oleh karena itu, Mak, sepertinya ada kesenjangan yang cukup jauh antara Sumpah Pemuda konkret dengan "ide" Sumpah Pemuda itu sendiri. Dan karenanya saya jadi meraba-raba kebenaran kata-kata Plato, bahwa ide tentang sesuatu tidak sama dengan sesuatu itu, sebagaimana ide manusia yang tidak sama dengan adanya manusia.

Ya, seperti Sumpah Pemuda itu, Mak. Realitas yang terjadi sekarang ini jelas berbeda dengan idealitas yang dicitakan para pemuda-pemuda itu dulu. Para pemuda yang tergabung dalam kongres itu boleh saja memiliki ide bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa persatuan yang satu. Akan tetapi kenyataannya, tanah air tempat tumpah darah kita, bangsa kita, bahasa kita seakan makin mencair dan menciptakan front-front yang saling berhadapan secara diametral dan laten kontroversil.

Apakah para pemuda itu dulu terlalu gegabah membuat sumpahnya, Mak? Aku rasa tidak. Sebab bagaimanapun, tiga bait sumpah mereka tetap mengandung kebenaran, menyimpan kebaikan. Tetapi, Mak, biarpun tiga bait sumpah dalam Sumpah Pemuda itu mengandung kebenaran, namun -meminjam istilah Badiou- kebenaran itu bukan lagi kebenaran yang masif, melainkan menjadi kebenaran yang situasional dan tentatif.

Tunggu dulu, Mak! Saya katakan ini bukan bermaksud untuk merubah Sumpah Pemuda itu. Sama sekali tidak. Hanya saja, saat ini saya melihat ada yang terasa janggal dalam kata-kata Sumpah Pemuda itu.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita bertumpah darah di atas tanah air yang satu, kenapa nyatanya hari ini banyak 'darah rakyat yang ditumpahkan' bukan untuk kemajuan tanah air yang satu itu? Maaf, Mak, jangan artikan kata 'darah rakyat yang ditumpahkan' itu dengan arti yang sesungguhnya. Itu hanya kiasan saya untuk menyebut kehidupan, harapan, kesejahteraan dan sebagainya. Dan ini benar, kan? Tidak sedikit rakyat yang 'darahnya tumpah', harapannya musnah oleh suatu mekanisme kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang tak lagi taat pada sumpah yang pernah mereka ikrarkan.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita berbangsa satu, kenapa rasa kebangsaan kita justru koyak-moyak oleh kubu-kubu, front-front, parpol-parpol yang setiap hari mengibarkan semacam aroma perseteruan. Ya, perseteruan yang menyiratkan bahwa antara kita dan mereka seakan berasal dari tanah yang berbeda, tumbuh dari bangsa yang tak sama. Sehingga, perlahan-lahan kita mewajarkan pertempuran yang sayangnya itu dilakukan bukan untuk kepentingan tanah air yang satu, bangsa yang satu, melainkan demi kepentingan-kepentingan yang serba parsial dan buntu.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita berbahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, namun kenyataannya bahasa kita kerap berisi kebohongan-kebohongan dan caci maki selalu. Apa yang diharapkan dari bahasa yang demikian? Bukan persatuan, melainkan menipisnya kepercayaan yang membuat kita saling curiga dan menyimpan dendam.

Kalau seperti itu, Mak, Sumpah Pemuda yang kita peringati hari ini, rasa-rasanya masih tetap saja berbentuk "ide", kosmos noetos kata Philon, dimana aktualisasi nilai-nilai kebenaran dari ketiga bait sumpah itu masih perlu kita cari dan kita buru.