Senin, 28 Oktober 2013

Kosmos Noetos Sumpah Pemuda

By Salman Rusydie Anwar


 
Mak! Delapan puluh lima tahun sudah Sumpah Pemuda dikumandangkan. Sebuah pernyataan dan ikrar luhur dari sekelompok pemuda, yang menegaskan sikap cinta mereka untuk bangsa Indonesia yang sekarang malah tak jelas nasibnya. 

Aku yakin, Mak! Para pemuda yang hadir dalam kongres bersejarah itu memiliki ide yang baik untuk masa depan bangsa ini. Mereka pun pasti memiliki gagasan cemerlang dan tidak sembarangan menorehkan tiga bait sumpah yang oleh pemuda-pemuda masa kini mungkin sumpah-sumpah itu seperti dianggap tidak ada sama sekali.

Tetapi, itu tidak masalah, Mak! Sumpah Pemuda yang menyiratkan keinginan para untuk menjadikan tanah air Indonesia sebagai tanah tumpah darah yang satu, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa kita yang satu dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, memang tak lebih dari "dunia ide" di benak mereka.

Dan Sumpah Pemuda sebagai "dunia ide" jelas tak akan pernah melahirkan makna sama sebagaimana yang diinginkan oleh pemuda-pemuda masa itu. Lihat sekarang, Mak! Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita bertumpah darah di atas tanah air yang satu, nyatanya ancaman tumpah darah yang sebenarnya (disintegrasi) kerap menjadi hantu. Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita berbangsa satu, faktanya masing-masing orang senang menonjolkan organisasi dan kubu-kubu. Jika dalam "dunia ide" Sumpah Pemuda dinyatakan, bahwa kita harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, riilnya banyak orang yang justru saling adu bahasa caci maki melulu.

Oleh karena itu, Mak, sepertinya ada kesenjangan yang cukup jauh antara Sumpah Pemuda konkret dengan "ide" Sumpah Pemuda itu sendiri. Dan karenanya saya jadi meraba-raba kebenaran kata-kata Plato, bahwa ide tentang sesuatu tidak sama dengan sesuatu itu, sebagaimana ide manusia yang tidak sama dengan adanya manusia.

Ya, seperti Sumpah Pemuda itu, Mak. Realitas yang terjadi sekarang ini jelas berbeda dengan idealitas yang dicitakan para pemuda-pemuda itu dulu. Para pemuda yang tergabung dalam kongres itu boleh saja memiliki ide bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa persatuan yang satu. Akan tetapi kenyataannya, tanah air tempat tumpah darah kita, bangsa kita, bahasa kita seakan makin mencair dan menciptakan front-front yang saling berhadapan secara diametral dan laten kontroversil.

Apakah para pemuda itu dulu terlalu gegabah membuat sumpahnya, Mak? Aku rasa tidak. Sebab bagaimanapun, tiga bait sumpah mereka tetap mengandung kebenaran, menyimpan kebaikan. Tetapi, Mak, biarpun tiga bait sumpah dalam Sumpah Pemuda itu mengandung kebenaran, namun -meminjam istilah Badiou- kebenaran itu bukan lagi kebenaran yang masif, melainkan menjadi kebenaran yang situasional dan tentatif.

Tunggu dulu, Mak! Saya katakan ini bukan bermaksud untuk merubah Sumpah Pemuda itu. Sama sekali tidak. Hanya saja, saat ini saya melihat ada yang terasa janggal dalam kata-kata Sumpah Pemuda itu.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita bertumpah darah di atas tanah air yang satu, kenapa nyatanya hari ini banyak 'darah rakyat yang ditumpahkan' bukan untuk kemajuan tanah air yang satu itu? Maaf, Mak, jangan artikan kata 'darah rakyat yang ditumpahkan' itu dengan arti yang sesungguhnya. Itu hanya kiasan saya untuk menyebut kehidupan, harapan, kesejahteraan dan sebagainya. Dan ini benar, kan? Tidak sedikit rakyat yang 'darahnya tumpah', harapannya musnah oleh suatu mekanisme kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang tak lagi taat pada sumpah yang pernah mereka ikrarkan.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita berbangsa satu, kenapa rasa kebangsaan kita justru koyak-moyak oleh kubu-kubu, front-front, parpol-parpol yang setiap hari mengibarkan semacam aroma perseteruan. Ya, perseteruan yang menyiratkan bahwa antara kita dan mereka seakan berasal dari tanah yang berbeda, tumbuh dari bangsa yang tak sama. Sehingga, perlahan-lahan kita mewajarkan pertempuran yang sayangnya itu dilakukan bukan untuk kepentingan tanah air yang satu, bangsa yang satu, melainkan demi kepentingan-kepentingan yang serba parsial dan buntu.

Jika dalam sumpah itu dikatakan kita berbahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, namun kenyataannya bahasa kita kerap berisi kebohongan-kebohongan dan caci maki selalu. Apa yang diharapkan dari bahasa yang demikian? Bukan persatuan, melainkan menipisnya kepercayaan yang membuat kita saling curiga dan menyimpan dendam.

Kalau seperti itu, Mak, Sumpah Pemuda yang kita peringati hari ini, rasa-rasanya masih tetap saja berbentuk "ide", kosmos noetos kata Philon, dimana aktualisasi nilai-nilai kebenaran dari ketiga bait sumpah itu masih perlu kita cari dan kita buru.
   
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar