Allah SWT menyatakan
diri-Nya sebagai Yang Maha Besar. Kebesaran-Nya tak dapat kita bandingkan
dengan apapun di seluruh jagad raya ini. Bahkan sekadar kita berpikir untuk
mencari bandingan antara kebesaran Allah dengan selain Dia, sungguh kita tidak
akan pernah berhasil.
Karena kebesaran Allah itu sama
sekali tak tertandingi oleh apapun, maka kita menyebutnya dengan kalimat Allahu Akbar (Allah Maha Besar), dan itu
kita sebut berkali-kali setiap hari dalam shalat kita, dzikir kita dan
seterusnya.
Pengakuan terhadap kebesaran Allah
itu akan semakin terasa frekuensinya manakala kita telah usai menjalankan
ibadah puasa dan kemudian kita masuki hari satu Syawal dimana kita
diperintahkan untuk bertakbir sejak malam hingga pagi harinya.
Coba kita renungkan, miliaran
manusia di dunia pada malam dan hari yang sama di awal bulan syawal memekik-mekik
kalimat Allahu Akbar..Allahu Akbar, Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar. Seandainya kita diperkenankan oleh-Nya untuk bisa
terbang dan mampu mendengarkan seluruh pekikan takbir itu, mungkin seluruh tubuh kita akan tenggelam dalam
getaran-getaran maha dahsyat yang ditimbulkan oleh pekik takbir itu.
Mengagungkan Allah lewat
pernyataan kalimat Allahu Akbar, saya
rasa merupakan sebentuk latihan agar kita belajar mengerdilkan diri di
tengah-tengah kebiasaan membesar-besarkan, menghinakan diri diantara pusaran
keinginan mengagungkan dan membangga-banggakan. Memang, manusia teramat besar
keinginannya untuk dianggap “lebih” dari manusia lainnya. Lebih hebat, lebih
mulia, lebih suci dan sekian embel-embel kelebihan lain yang semua itu seakan
memaksa kita -tanpa kita sadari- untuk berlaku sombong dan angkuh.
Keinginan untuk dianggap “lebih”
inilah yang seharusnya dikikis dengan penghayatan mendalam saat kita mengucap Allahu Akbar. Kita bisa menjadi sombong,
besar kepala, angkuh dan menganggap diri kita “lebih segalanya” dari orang lain,
itu kemungkinan besar karena kita belum menemukan taste dari pekik Allahu Akbar
yang sehari-hari kita ucapkan. Makanya kita sombong.
Dan harap dicatat, bahwa kesombongan
itu bukan hanya milik orang yang tidak shalat. Orang yang sehari-hari kita
pandang rajin shalat sekalipun, juga bisa menjadi manusia-manusia sombong atau
bahkan kesombongannya lebih hebat lagi dibanding mereka yang shalatnya lebih
banyak absen-nya.
Kalau kita camkan apa yang pernah
disampaikan oleh Rasulullah Saw, betapa ngerinya
hati kita memahami pengaruh-pengaruh kesombongan, ketakabburan. Betapa tidak, sebesar biji dzarrah saja kita pelihara
kesombongan dalam hati, maka Allah sama sekali tak memperkenankan sorga-Nya
untuk kita masuki.
Tak
akan masuk sorga, kata Rasulullah, orang
yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong sebesar biji dzarrah. Andai
sorga kita umpamakan sebagai sebuah rumah pesta, yang di dalamnya disediakan
jamuan-jamuan paling lezat dari lezatnya jamuan yang pernah dicipta manusia,
maka dengan kesombongan itu kita terusir dari sana.
Kesombongan atau ketakabburan
menjadikan nasib kita dihadapan Allah menjadi begitu fatal dan naifnya. Sebab
dengan kesombongan itu kita seperti sedang mengkondisikan diri menjadi
pihak-pihak yang terbuang dari kasih sayang-Nya, menjadi pihak yang tersingkir
dari panggilan cinta-Nya, menjadi sosok-sosok yang dibiarkan berada dalam
kebuntuan tak bertepi di saat orang lain justru telah sampai pada tujuan yang
mereka idam-idamkan selama ini.
Karena itu, saya membayangkan,
ketika sedang mengucap Allahu Akbar, maka
segala atribut-atribut yang selama ini memaksa saya sombong harus saya buang
dan singkirkan jauh-jauh. Harusnya saya merasa kerdil di hadapan kebesaran-Nya,
harusnya saya merasa ringkih di hadapan keperkasaan-Nya, harusnya saya merasa hilang
arti di hadapan kekuasaan-Nya. Allahu
Akbar...Allahu Akbar.
Sayangnya, saya tak cukup cerdas
untuk segera dapat mengetahui, bahwa ternyata segala ihwal yang mengantarkan
saya kepada kesombongan itu bukan hanya harta, ilmu, paras, keluarga, pangkat
dan status-status jabatan belaka. Tetapi ternyata, sekadar diri ini merasa “lebih
takwa” dari orang lain pun sudah cukup menenggelamkan saya di dalam lumpur
ketakabburan.
Para Nabi dan Rasul, selalu saja
berdoa yang menyiratkan betapa mereka senantiasa mengaku dzalim di hadapan
Allah. Mereka tak pernah menabik dada dengan menyebut mereka lebih baik dan
benar dari umatnya, lebih shalih dari orang lain, merasa lebih pantas masuk
sorga daripada orang-orang di sekitarnya. Dan perasaan inilah yang kian membuat
mereka tak pernah merasa cukup untuk mengucap Allahu Akbar, tak pernah merasa puas untuk tenggelam dalam lautan
ibadah kepada Allah.
Sungguh betapa canggih dan
membahayakannya makhluk yang bernama “diri
merasa lebih” ini. Sebab dari perasaan inilah seseorang bisa dengan mudah
melakukan penistaan-penistaan yang membuat mereka justru terlihat bodoh dalam
kepandaiannya , terlihat jahat ditengah ibadah yang dilakukannya.
Karena saya merasa lebih takwa, maka
saya hina siapa saja yang berbeda dengan saya. Karena saya merasa lebih suci,
maka saya halalkan caci. Karena saya merasa lebih tahu tentang agama, maka saya
remehkan para pendosa tanpa harus saya tahu alasannya kenapa mereka berbuat
dosa. Hanya karena diri merasa lebih, saya akhirnya berbuat seperti yang saya
inginkan. Bukan berdasarkan apa yang Allah perintahkan.
Apa itu sombong, wahai Rasul? Sabda
beliau itu kini lamat-lamat saja terdengar; ialah
menolak kebenaran dan menghina (merendahkan, meremehkan) manusia. Maka akhirnya saya khawatir,
jika setiap hari saya lantunkan kalimat Allahu
Akbar, bukannya diri makin tunduk rendah penuh gemetar melainkan makin
menjulang saja pohon yang bernama rasa takabbur.
Kebumen,
31 Agustus 2013.