Selasa, 22 Oktober 2013

Kabar Kematian Itu Lagi

By Salman Rusydie Anwar

Jam 15.32 tadi, telephon berdering. Menguarkan tanda panggilan masuk dari seseorang. Seorang teman ternyata. Saat saya angkat, dari seberang sana dia bertanya, "Tidak ta'ziyah?"

"Siapa yang meninggal?" saya balik bertanya. Jawaban teman saya sungguh mengagetkan karena ternyata yang meninggal adalah tetangga satu desa saya, suami seorang bidan yang pernah mengurus proses persalinan istri saya tiga tahun yang lalu. Innalillahi. Jelas saya tak datang ta'ziyah karena memang kabar itu baru saya dengar. Namun saya tetap berdoa untuknya, meski dalam hati.

Ramadhan yang lalu saya kenal lelaki itu meski sebelum-sebelumnya saya juga sudah sering melihatnya. Terutama saat istri saya mau melahirkan. Kesimpulan saya saat berkenalan secara dekat dengannya pada Ramadhan itu adalah; dia lelaki yang baik, ramah, bahkan sempat saya dengar dia begitu fasih melantunkan bacaan Al-Qur'an. Dengan ini saya tak ingin membuat justifikasi apapun. Saya hanya mengatakan apa adanya. Tentang bagaimana dia sebenarnya, tentu biar Tuhan sendiri yang menilai.

Hanya saja, kabar kematiannya yang terasa cepat itu seperti mengukuhkan timbunan pemahaman dalam diri saya, betapa kematian itu sungguh bisa mendatangi siapa saja dengan proses yang begitu misterius. Atau, mungkinkah kematian itu tidak dalam keadaan "mendatangi" dimana istilah ini seakan meniscayakan satu pemahaman bahwa maut itu ada di suatu tempat yang kemudian datang pada siapa saja yang sudah tiba waktunya out?

Bisa jadi. Kematian bisa jadi tidak pernah mendatangi kita, melainkan selalu ada dimanapun kita berada. Ia selalu bersama kehidupan kita. Begitu dekat sehingga cara dia merenggut kehidupan setiap orang bisa terjadi secara tiba-tiba. Begitu cepat dan tak terduga. 

Aduh. Mendengar berita kematian, saya selalu saja merinding. Pertanyaan demi pertanyaan yang terus saja menjadi pertanyaan menyeruak secara tiba-tiba dalam kepala; kapan akan tiba gilirannya pada saya? Tak ada jawaban. Bahkan untuk sekadar meraba-raba saja saya tetap tak kuasa.

Ya, sudah berulangkali kabar kematian mengisi pendengaran kita. Seorang sahabat, keluarga dan orang tercinta kita yang sejam lalu masih bercengkerama dengan kita, tiba-tiba dia sudah tiada. Meninggalkan goresan kenangan dalam lalu lintas kehidupan yang pernah kita rasakan bersama mereka. Kita yang ditinggalkan hanya bisa pasrah sambil diam-diam menganggit sederet pertanyaan yang begitu takut kita ungkapkan; kapan tiba waktunya untuk saya?

Maka, mendengar kabar kematian sore tadi, saya hanya ingat kata-kata Fahd Djibran (2011). Bahwa pada saat kita dihadapkan pada sesuatu, maka sesungguhnya kita sedang dituntun untuk mempelajari hal yang berseberangan secara diametral dengannya. Kalau kabar kematian yang kita hadapi, sesungguhnya kita sedang dipaksa untuk belajar tentang kehidupan.

Mungkin bukan sekadar belajar tentang kehidupan, namun sekaligus belajar untuk mengisi hidup dengan kebaikan. Kematian adalah peristiwa misteri tentang sebuah perjalanan yang tak seorangpun tahu kemana dan dimana muaranya. Namun ada baiknya kita siapkan bekal yang baik untuk perjalanan yang pasti akan kita alami itu. Siapa tahu, dengan bekal yang baik itulah perjalanan kita tidak terlalu sulit dan menyedihkan.

Selamat jalan Pak Supri. Semoga amal baikmu menyertai. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar