Kamis, tepat jam 07,01 WIB, kereta api Logawa yang akan membawa
saya, istri dan anak ke Jombang perlahan-lahan mulai berjalan. Hari
itu, kami bertiga hendak bertandang ke Pondok Pesantren Tebuireng. Bukan
ziarah ke pusara Gus Dur dan KH. Hasyim Asy'arie. Melainkan lebih dari
itu. Tepatnya, di hari Jum'at keesokan harinya, saya diminta untuk
berbagi pengalaman seputar dunia kepenulisan dalam sebuah acara di sana.
Bagi saya, jelas ini
terasa aneh. Sebab dari seorang rekan saya justru diberi tahu kalau
santri di Pesantren Tebuireng itu konon sudah banyak memperoleh ilmu
kepenulisan dari seorang cerpenis kenamaan, Lan Fang (alm). Jadi kenapa
masih perlu saya? Lain dari itu, tidak sulit sebenarnya menghadirkan
penulis-penulis berbakat dari warga Jawa Timur sendiri. Jadi kenapa
harus mendatangkan warga Jawa Tengah? Namun di sisi lain, saya mesti
harus bersyukur karena dengan moment ini saya bisa bertemu teman-teman
baru dan sekaligus bisa ziarah ke makam Gus Dur yang ramai itu.
Lalu
apa yang harus saya bicarakan? Inilah pertanyaan awal yang terus
menggoda. Sejak Mas Fauzan (panita) menghubungi saya untuk acara itu,
ingatan saya kembali terlempar ke periode-periode 2002-2003-an.
Masa-masa awal dimana saya dengan terbata-bata mencoba mengakrabi
aktivitas baru yang bernama 'menulis.' Sepanjang perjalanan menuju
Jombang, saya lebih banyak diam. Menganggit kembali ingatan-ingatan yang
masih tak rampung. Hingga akhirnya....
Nah,
ini dia. Secuil ide hadir tiba-tiba. Bukankah ini dunia pesantren?
Mengapa tidak bicara saja tentang tradisi menulis dari tokoh-tokoh yang
memang tak asing lagi dengan pesantren ini? Saya mengangguk perlahan.
Seperti anggukan penumpang di goyang gerbong.
***
Menulis.
Masih perlukah santri itu menulis? Pertanyaan aneh sebenarnya yang
mesti harus saya jawab sendiri di sini. Saya katakan aneh karena
pertanyaan itu seakan mengandung sebuah resistensi terhadap majunya
dunia perbukuan. Kita tahu, kemajuan dalam dunia perbukuan membuat
siapapun tak perlu lagi repot-repot untuk menulis. Berbagai disiplin
ilmu sudah tersalin ke dalam buku cetak, digital, dimana kita hanya
perlu mengeluarkan lembaran-lembaran rupiah untuk mendapatkannya.
Gampang, bukan?
Kondisi
semacam ini jelas berbeda dengan periode di abad-abad yang lalu, dimana
para santri mesti harus mengandalkan kemampuan menulisnya untuk bisa
menyalin sebuah informasi, sebuah ilmu. Kalau tak salah ingat, saya
pernah membaca jika Imam Syafi'ie selalu aktif mencatat hadis-hadis yang
ia terima dari gurunya, Imam Malik, dalam lembaran-lembaran kertas.
Bahkan ia mencatat hadis-hadis itu di telapak tangannya jika kertas yang
dia miliki sudah tak cukup lagi. Luar biasa. Tapi sekarang, itu tak
perlu. Cetakan buku sudah menggantikannya dengan begitu mudah. Jika buku
sudah sedemikian mudahnya di dapatkan, lalu untuk apalagi kita
repot-repot belajar menulis? Bukankah yang kita alami sekarang adalah transition phase, yang mengarahkan kita untuk hanya membaca, bukan lagi menulis?
Mungkin
masih tersedia sebuah jawaban yang bisa kita gunakan untuk menghalau
keanehan dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Bahwa kita perlu belajar
menulis agar kita bisa merangkum ingatan, kenangan, dan pengalaman yang
pada akhirnya paduan dari ketiganya dapat melahirkan anggitan-anggita
pengetahuan dan pemahaman. Ya, menulis pada akhirnya adalah sebuah
aktivitas tentang bagaimana kita merangkum kenangan, ingatan dan
pengalaman untuk selanjutnya kita petakan agar mudah dipilah dan
dipahami. Sementara tulisan merupakan perangkat utamanya.
Mengurai Budaya Qalam
Sulit
untuk mengelak, bahwa peradaban Islam di awal mula, dibangun oleh
motivasi membaca dan menulis. Inilah dua aktivitas yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Lima ayat dalam surat Al-'Alaq yang menjadi
wahyu pertama Nabi Muhammad Saw menegaskan tentang pentingnya membaca,
yang di dalamnya juga meliputi proses mengkaji, mengamati, menganalisa,
menginterpretasi, meneliti, memperhatikan dan seterusnya. Untuk
kepentingan siapakah hasil dari aktivitas membaca ini?
Jelas
untuk manusia.Ya, setiap manusia harus membaca agar ia bisa memperoleh
kesimpulan-kesimpulan berharga untuk hidupnya. Sementara, kesimpulan
yang dia dapatkan jelas harus diikat agar bisa dijadikan acuan oleh
generasi-generasi lainnya.Nah, pengikat ini, kata Sayyidina Ali tidak
lain adalah tulisan. Saya pikir Ali bin Abi Thalib tidak sedang
main-main ketika beliau berujar, "Ilmu itu gesit dan tulisanlah sebagai
pengikatnya."
Kalau tidak ada kesadaran untuk mengikat
ilmu (menulis) sebagaimana dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu,
mungkin kitab-kitab yang sekarang banyak dipelajari di
pesantren-pesantren hanya menjadi cerita dongeng. Sementara, untuk
mengantisipasi agar ilmu yang kita pelajari tidak juga menjadi dongeng,
mungkin kita perlu mengikatnya, membuatnya nyata. Dan tulisanlah salah
satu caranya.
Aha, akhirnya sampai juga di Jombang.
Luar biasa banyaknya peziarah yang terus berdatangan. Usai acara, saya
pun merasa perlu melakukan ziarah. Bukan untuk mengunjungi tempat yang
menyimpan jasad seseorang, melainkan untuk menjaga ingatan bahwa di
tempat itu bersemayamlah sosok-sosok yang layak dikenang.
Mungkin
sama dengan kenapa kita harus menulis. Bukan untuk menjadi orang
terpandang, melainkan untuk menjaga ingatan agar apa yang kita ketahui
tidak mudah hilang tertimbun zaman.
Medio, 04 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar