Rabu, 23 Oktober 2013

Menjaga Ingatan, Menulis Pengetahuan

By Salman Rusydie Anwar

Kamis, tepat jam 07,01 WIB, kereta api Logawa yang akan membawa saya, istri dan anak ke Jombang perlahan-lahan mulai berjalan. Hari itu, kami bertiga hendak bertandang ke Pondok Pesantren Tebuireng. Bukan ziarah ke pusara Gus Dur dan KH. Hasyim Asy'arie. Melainkan lebih dari itu. Tepatnya, di hari Jum'at keesokan harinya, saya diminta untuk berbagi pengalaman seputar dunia kepenulisan dalam sebuah acara di sana.

Bagi saya, jelas ini terasa aneh. Sebab dari seorang rekan saya justru diberi tahu kalau santri di Pesantren Tebuireng itu konon sudah banyak memperoleh ilmu kepenulisan dari seorang cerpenis kenamaan, Lan Fang (alm). Jadi kenapa masih perlu saya? Lain dari itu, tidak sulit sebenarnya menghadirkan penulis-penulis berbakat dari warga Jawa Timur sendiri. Jadi kenapa harus mendatangkan warga Jawa Tengah? Namun di sisi lain, saya mesti harus bersyukur karena dengan moment ini saya bisa bertemu teman-teman baru dan sekaligus bisa ziarah ke makam Gus Dur yang ramai itu.

Lalu apa yang harus saya bicarakan? Inilah pertanyaan awal yang terus menggoda. Sejak Mas Fauzan (panita) menghubungi saya untuk acara itu, ingatan saya kembali terlempar ke periode-periode 2002-2003-an. Masa-masa awal dimana saya dengan terbata-bata mencoba mengakrabi aktivitas baru yang bernama 'menulis.' Sepanjang perjalanan menuju Jombang, saya lebih banyak diam. Menganggit kembali ingatan-ingatan yang masih tak rampung. Hingga akhirnya....

Nah, ini dia. Secuil ide hadir tiba-tiba. Bukankah ini dunia pesantren? Mengapa tidak bicara saja tentang tradisi menulis dari tokoh-tokoh yang memang tak asing lagi dengan pesantren ini? Saya mengangguk perlahan. Seperti anggukan penumpang di goyang gerbong. 
***
Menulis. Masih perlukah santri itu menulis? Pertanyaan aneh sebenarnya yang mesti harus saya jawab sendiri di sini. Saya katakan aneh karena pertanyaan itu seakan mengandung sebuah resistensi terhadap majunya dunia perbukuan. Kita tahu, kemajuan dalam dunia perbukuan membuat siapapun tak perlu lagi repot-repot untuk menulis. Berbagai disiplin ilmu sudah tersalin ke dalam buku cetak, digital, dimana kita hanya perlu mengeluarkan lembaran-lembaran rupiah untuk mendapatkannya. Gampang, bukan?

Kondisi semacam ini jelas berbeda dengan periode di abad-abad yang lalu, dimana para santri mesti harus mengandalkan kemampuan menulisnya untuk bisa menyalin sebuah informasi, sebuah ilmu. Kalau tak salah ingat, saya pernah membaca jika Imam Syafi'ie selalu aktif mencatat hadis-hadis yang ia terima dari gurunya, Imam Malik, dalam lembaran-lembaran kertas. Bahkan ia mencatat hadis-hadis itu di telapak tangannya jika kertas yang dia miliki sudah tak cukup lagi. Luar biasa. Tapi sekarang, itu tak perlu. Cetakan buku sudah menggantikannya dengan begitu mudah. Jika buku sudah sedemikian mudahnya di dapatkan, lalu untuk apalagi kita repot-repot belajar menulis? Bukankah yang kita alami sekarang adalah transition phase, yang mengarahkan kita untuk hanya membaca, bukan lagi menulis? 

Mungkin masih tersedia sebuah jawaban yang bisa kita gunakan untuk menghalau keanehan dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Bahwa kita perlu belajar menulis agar kita bisa merangkum ingatan, kenangan, dan pengalaman yang pada akhirnya paduan dari ketiganya dapat melahirkan anggitan-anggita pengetahuan dan pemahaman. Ya, menulis pada akhirnya adalah sebuah aktivitas tentang bagaimana kita merangkum kenangan, ingatan dan pengalaman untuk selanjutnya kita petakan agar mudah dipilah dan dipahami. Sementara tulisan merupakan perangkat utamanya.

Mengurai Budaya Qalam

Sulit untuk mengelak, bahwa peradaban Islam di awal mula, dibangun oleh motivasi membaca dan menulis. Inilah dua aktivitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Lima ayat dalam surat Al-'Alaq yang menjadi wahyu pertama Nabi Muhammad Saw menegaskan tentang pentingnya membaca, yang di dalamnya juga meliputi proses mengkaji, mengamati, menganalisa, menginterpretasi, meneliti, memperhatikan dan seterusnya. Untuk kepentingan siapakah hasil dari aktivitas membaca ini? 

Jelas untuk manusia.Ya, setiap manusia harus membaca agar ia bisa memperoleh kesimpulan-kesimpulan berharga untuk hidupnya. Sementara, kesimpulan yang dia dapatkan jelas harus diikat agar bisa dijadikan acuan oleh generasi-generasi lainnya.Nah, pengikat ini, kata Sayyidina Ali tidak lain adalah tulisan. Saya pikir Ali bin Abi Thalib tidak sedang main-main ketika beliau berujar, "Ilmu itu gesit dan tulisanlah sebagai pengikatnya."

Kalau tidak ada kesadaran untuk mengikat ilmu (menulis) sebagaimana dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu, mungkin kitab-kitab yang sekarang banyak dipelajari di pesantren-pesantren hanya menjadi cerita dongeng. Sementara, untuk mengantisipasi agar ilmu yang kita pelajari tidak juga menjadi dongeng, mungkin kita perlu mengikatnya, membuatnya nyata. Dan tulisanlah salah satu caranya.

Aha, akhirnya sampai juga di Jombang. Luar biasa banyaknya peziarah yang terus berdatangan. Usai acara, saya pun merasa perlu melakukan ziarah. Bukan untuk mengunjungi tempat yang menyimpan jasad seseorang, melainkan untuk menjaga ingatan bahwa di tempat itu bersemayamlah sosok-sosok yang layak dikenang.

Mungkin sama dengan kenapa kita harus menulis. Bukan untuk menjadi orang terpandang, melainkan untuk menjaga ingatan agar apa yang kita ketahui tidak mudah hilang tertimbun zaman.

Medio, 04 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar