Idul Qurban!
Hmm....siapa yang tidak senang merayakan momentum hari raya yang satu ini.
Semua pasti bergembira. Semua pasti bersuka ria. Mungkin bagi sebagian orang alasannya
sederhana; karena pada hari raya ini sebagian diantara kita dapat menikmati
daging kambing atau daging sapi secara gratiissss....
Yang gratis-gratis kan memang enak,
Bung.
Tetapi sadarkah kita, mengapa dalam
Islam ada hari raya yang disebut hari raya Idul Qurban atau hari raya Idul
Adha?
Kalau kita baca
akar historisnya, hari raya qurban itu berawal dari kisah Bapak Ibrahim. Ya,
dialah muasal dari pelaksanaan hari raya qurban. Konon kisahnya, sebelum Nabi
Ibrahim memiliki keturunan, pernah suatu ketika beliau menyembelih 1000 ekor
domba, 300 ekor sapi dan 100 ekor unta. Semuanya disembelih dan dibagikan
secara gratis kepada orang-orang yang tidak mampu sebagai wujud qurban beliau
kepada Tuhan.
Enak kali ya, kalau kita hidup pada
masa itu. Satu tahun suntuk nyate terus.
Gratissss....lagi.
Melihat tindakannya itu, banyak
orang yang menaruh kagum kepada Nabi Ibrahim. Bahkan katanya para malaikat di
langit sana juga terkagum-kagum kepada beliau. Merasa dirinya dikagumi seperti
itu, Nabi Ibrahim tidak jadi besar kepala. Beda banget sama kita yang baru
kurban satu kambing saja minta disyuting masuk tivi. Cuma katanya beliau pernah
menanggapi kekaguman orang-orang itu dengan kata-kata begini:
“Kurban sejumlah itu bagiku belum
apa-apa. Demi Allah, kalau aku punya anak laki-laki, pasti akan aku kurbankan
juga kepada Allah.”
Wooww....heroik banget
Tapi Wallahu a’lam atas kebenaran kisah ini. Namun yang jelas, ketika
Nabi Ibrahim memiliki seorang putra bernama Ismail yang amat ia sayangi,
tiba-tiba Allah memerintahkan agar beliau menyembelih putranya itu. Gak
kebayang deh, bagaimana seandainya kita yang diperintahkan Tuhan untuk
menyembelih anak kesayangan kita. Mungkin kita akan merayu-rayu, berpuisi-puisi
di depan Tuhan agar Ia mencabut perintahnya. Emang orangtua mana yang tega
menyembelih anak buah cintanya kecuali hanya mereka yang otaknya setengah dua
belas alias sedeng.
Tetapi berbeda dengan Nabi Ibrahim.
Sekalipun ia teramat menyayangi putranya, Ismail, namun ia jalankan juga
perintah penyembelihan atas buah hati yang dikasihinya itu. Maka pada suatu
hari yang ditentukan, setelah mengasah pisau agar setajam silet...heee, Ibrahim membawa Ismail ke sebuah
lembah di daerah Mina. Disanalah Ismail dibaringkan. Dengan kedua mata dibebat kain serta leher
yang ditelentangkan, kedua manusia ini siap menjalankan perintah Tuhan yang
mungkin tak satupun orang di dunia ini bisa membayangkan bagaimana seorang ayah
menyembelih anak kandungnya sendiri.
Meskipun upaya melaksanakan perintah
Tuhan seringkali mendapat godaan setan, sampai-sampai Ibrahim melemparnya
dengan kerikil hingga lahirlah kewajiban jumrah
dalam ibadah haji, namun akhirnya Ibrahim pun siap melaksanakan perintah
Tuhan untuk mengurbankan putranya.
Lalu terputuskah urat leher Ismail?
Ternyata tidak. Singkat cerita Tuhan
mengganti Ismail dengan seekor domba. Dan Tuhan mengatakan bahwa perintah
menyembelih Ismail merupakan ujian kepatuhan kepada Ibrahim. Karena
kepatuhannya itulah para malaikat bertakbir, mengagungkan kebesaran Allah dan
kedua hamba-Nya yang soleh dan patuh itu.
Sampai disini, apa makna yang bisa
kita cerap dari kisah di atas?
Menurutku nih, ya, ada tiga hal yang
bisa kita pelajari dari kisah qurban di atas. Pertama, secara sosial, hari raya qurban adalah hari raya berbagi. Dalam
arti berbagi daging qurban kepada orang-orang yang tidak mampu. Ini bagian dari
ajaran kepedulian yang terdapat di dalam Islam.
Intinya, Islam itu agama yang peduli.
Tidak pelit, kikir, semuanya mau diuntal
sendiri. Apa-apa kalau mau dimakan sendiri pasti berbahaya. Percaya deh. Kalau
mau bukti, coba aja kamu nyembelih sapi satu di hari raya qurban dan kamu makan
sendiri semua daging sapi itu. Dijamin kolestrolmu bakal tambah mbengkak kayak
jerawat mau mbrojol. Sakit kan?
Betul..betul...betul.
Kedua,
secara individual, berqurban itu
adalah simbol dari keharusan kita untuk memotong sisi-sisi kebinatangan yang
ada di dalam diri kita. Kamu mau ngaku atau tidak, dalam dirimu itu ada
sisi-sisi kebinatangan yang apabila dibiarkan subur akan menjebloskanmu ke
dalam kehinaan. Sisi kebinatangan itu tercermin dari sikap-sikap yang
seringkali kita tunjukkan dalam prilaku kehidupan kita seperti rakus, serakah,
ngumbar syahwat, pikirannya harta dunia mulu dan sebagainya.
Coba saja amati itu kambing.
Hidupnya hanya untuk makan saja. Tak pernah kenyang. Kalau bagiannya sudah
habis, punya temannya disamber pula tanpa permisi. Si kambing laki, kalau udah
kenyang dan kebetulan ada kambing betina di sampingnya, langsung aja disosor
tanpa pake qobiltu-qobiltuan, haha.
Payah kan. Nah, kecenderungan-kecenderungan macam itu ada dalam diri kita,
entah kita sadar atau tidak. Karena itu, kita perlu berqurban, dalam arti
menyembelih nafsu kebinatangan yang bersarang di dalam diri kita.
Terus yang ketiga, haa..ini yang berat. Secara spiritual, berqurban itu
merupakan perintah agar dalam beriman kepada Tuhan kita tidak bersikap
setengah-tengah. Harus benar-benar total. Kalau kita menyatakan beriman dan
taat kepada Tuhan, maka ketaatan itu harus mengatasi semua pemikiran dan
kecenderungan-kecenderungan kita pada yang lain-lain.
Cuma masalahnya ini sangat berat lho.
Dan mungkin hanya Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang lain yang bisa melakukannya. Kierkegaard
(1843), seorang pemikir Denmark dalam bukunya Frygt og Bæven (Gentar dan Gementar) sebagaimana dikutip oleh
Goenawan Muhammad mengatakan bahwa iman Ibrahim itu sebagai sesuatu yang
mengatasi nilai ”kebaikan” yang universal, yang berlaku buat siapa saja, di
mana saja, kapan saja. Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri,
bersendiri. Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan
hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh
kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang absurd”. Kierkegaard menyebut
Ibrahim sebagai seorang ”ksatria iman”. Artinya, keimanan dan ketaatan beliau
kepada Tuhan benar-benar total, tidak terpengaruh oleh pandangan-pandangan yang
lahir baik dari dirinya sendiri ataupun dari orang lain.
Mungkin, kita tidak bisa meniru Nabi
Ibrahim yang kadar keimanan serta kepatuhannya kepada Tuhan itu sedemikian luar
biasanya. Tetapi kalau kamu mampu, berqurbanlah. Belilah kambing atau sapi yang
gemuk. Boleh dua, tiga atau lima ekor sekalian tidak masalah. Namun jangan
lupa, kalau udah disembelih, kau sms aku ya, supaya aku bisa ikut nyattee dengan grattiss..tiss.
Te
satte...te satte...
Kebumen, 13 Juni
2012.