Selasa, 12 Juni 2012

Awas! Ada Kambing dalam Dirimu


Idul Qurban! Hmm....siapa yang tidak senang merayakan momentum hari raya yang satu ini. Semua pasti bergembira. Semua pasti bersuka ria. Mungkin bagi sebagian orang alasannya sederhana; karena pada hari raya ini sebagian diantara kita dapat menikmati daging kambing atau daging sapi secara gratiissss....
            Yang gratis-gratis kan memang enak, Bung.
            Tetapi sadarkah kita, mengapa dalam Islam ada hari raya yang disebut hari raya Idul Qurban atau hari raya Idul Adha?
            Kalau kita baca akar historisnya, hari raya qurban itu berawal dari kisah Bapak Ibrahim. Ya, dialah muasal dari pelaksanaan hari raya qurban. Konon kisahnya, sebelum Nabi Ibrahim memiliki keturunan, pernah suatu ketika beliau menyembelih 1000 ekor domba, 300 ekor sapi dan 100 ekor unta. Semuanya disembelih dan dibagikan secara gratis kepada orang-orang yang tidak mampu sebagai wujud qurban beliau kepada Tuhan.
            Enak kali ya, kalau kita hidup pada masa itu. Satu tahun suntuk nyate terus. Gratissss....lagi.
            Melihat tindakannya itu, banyak orang yang menaruh kagum kepada Nabi Ibrahim. Bahkan katanya para malaikat di langit sana juga terkagum-kagum kepada beliau. Merasa dirinya dikagumi seperti itu, Nabi Ibrahim tidak jadi besar kepala. Beda banget sama kita yang baru kurban satu kambing saja minta disyuting masuk tivi. Cuma katanya beliau pernah menanggapi kekaguman orang-orang itu dengan kata-kata begini:
            “Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah, kalau aku punya anak laki-laki, pasti akan aku kurbankan juga kepada Allah.”
            Wooww....heroik banget
            Tapi Wallahu a’lam atas kebenaran kisah ini. Namun yang jelas, ketika Nabi Ibrahim memiliki seorang putra bernama Ismail yang amat ia sayangi, tiba-tiba Allah memerintahkan agar beliau menyembelih putranya itu. Gak kebayang deh, bagaimana seandainya kita yang diperintahkan Tuhan untuk menyembelih anak kesayangan kita. Mungkin kita akan merayu-rayu, berpuisi-puisi di depan Tuhan agar Ia mencabut perintahnya. Emang orangtua mana yang tega menyembelih anak buah cintanya kecuali hanya mereka yang otaknya setengah dua belas alias sedeng.
            Tetapi berbeda dengan Nabi Ibrahim. Sekalipun ia teramat menyayangi putranya, Ismail, namun ia jalankan juga perintah penyembelihan atas buah hati yang dikasihinya itu. Maka pada suatu hari yang ditentukan, setelah mengasah pisau agar setajam silet...heee, Ibrahim membawa Ismail ke sebuah lembah di daerah Mina. Disanalah Ismail dibaringkan.  Dengan kedua mata dibebat kain serta leher yang ditelentangkan, kedua manusia ini siap menjalankan perintah Tuhan yang mungkin tak satupun orang di dunia ini bisa membayangkan bagaimana seorang ayah menyembelih anak kandungnya sendiri.
            Meskipun upaya melaksanakan perintah Tuhan seringkali mendapat godaan setan, sampai-sampai Ibrahim melemparnya dengan kerikil hingga lahirlah kewajiban jumrah dalam ibadah haji, namun akhirnya Ibrahim pun siap melaksanakan perintah Tuhan untuk mengurbankan putranya.
            Lalu terputuskah urat leher Ismail?
            Ternyata tidak. Singkat cerita Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba. Dan Tuhan mengatakan bahwa perintah menyembelih Ismail merupakan ujian kepatuhan kepada Ibrahim. Karena kepatuhannya itulah para malaikat bertakbir, mengagungkan kebesaran Allah dan kedua hamba-Nya yang soleh dan patuh itu.
            Sampai disini, apa makna yang bisa kita cerap dari kisah di atas?
            Menurutku nih, ya, ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari kisah qurban di atas. Pertama, secara sosial, hari raya qurban adalah hari raya berbagi. Dalam arti berbagi daging qurban kepada orang-orang yang tidak mampu. Ini bagian dari ajaran kepedulian yang terdapat di dalam Islam.
            Intinya, Islam itu agama yang peduli. Tidak pelit, kikir, semuanya mau diuntal sendiri. Apa-apa kalau mau dimakan sendiri pasti berbahaya. Percaya deh. Kalau mau bukti, coba aja kamu nyembelih sapi satu di hari raya qurban dan kamu makan sendiri semua daging sapi itu. Dijamin kolestrolmu bakal tambah mbengkak kayak jerawat mau mbrojol. Sakit kan? Betul..betul...betul.
            Kedua,  secara individual, berqurban itu adalah simbol dari keharusan kita untuk memotong sisi-sisi kebinatangan yang ada di dalam diri kita. Kamu mau ngaku atau tidak, dalam dirimu itu ada sisi-sisi kebinatangan yang apabila dibiarkan subur akan menjebloskanmu ke dalam kehinaan. Sisi kebinatangan itu tercermin dari sikap-sikap yang seringkali kita tunjukkan dalam prilaku kehidupan kita seperti rakus, serakah, ngumbar syahwat, pikirannya harta dunia mulu dan sebagainya.
            Coba saja amati itu kambing. Hidupnya hanya untuk makan saja. Tak pernah kenyang. Kalau bagiannya sudah habis, punya temannya disamber pula tanpa permisi. Si kambing laki, kalau udah kenyang dan kebetulan ada kambing betina di sampingnya, langsung aja disosor tanpa pake qobiltu-qobiltuan, haha. Payah kan. Nah, kecenderungan-kecenderungan macam itu ada dalam diri kita, entah kita sadar atau tidak. Karena itu, kita perlu berqurban, dalam arti menyembelih nafsu kebinatangan yang bersarang di dalam diri kita.
            Terus yang ketiga, haa..ini yang berat. Secara spiritual, berqurban itu merupakan perintah agar dalam beriman kepada Tuhan kita tidak bersikap setengah-tengah. Harus benar-benar total. Kalau kita menyatakan beriman dan taat kepada Tuhan, maka ketaatan itu harus mengatasi semua pemikiran dan kecenderungan-kecenderungan kita pada yang lain-lain.
            Cuma masalahnya ini sangat berat lho. Dan mungkin hanya Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang lain yang bisa melakukannya. Kierkegaard (1843), seorang pemikir Denmark dalam bukunya Frygt og Bæven (Gentar dan Gementar) sebagaimana dikutip oleh Goenawan Muhammad mengatakan bahwa iman Ibrahim itu sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang universal, yang berlaku buat siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri. Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan dari sesuatu yang absurd”. Kierkegaard menyebut Ibrahim sebagai seorang ”ksatria iman”. Artinya, keimanan dan ketaatan beliau kepada Tuhan benar-benar total, tidak terpengaruh oleh pandangan-pandangan yang lahir baik dari dirinya sendiri ataupun dari orang lain.
            Mungkin, kita tidak bisa meniru Nabi Ibrahim yang kadar keimanan serta kepatuhannya kepada Tuhan itu sedemikian luar biasanya. Tetapi kalau kamu mampu, berqurbanlah. Belilah kambing atau sapi yang gemuk. Boleh dua, tiga atau lima ekor sekalian tidak masalah. Namun jangan lupa, kalau udah disembelih, kau sms aku ya, supaya aku bisa ikut nyattee dengan grattiss..tiss.
            Te satte...te satte...

Kebumen, 13 Juni 2012.