Tuhan Disingkirkan
"Oleh manusia, Tuhan
seringkali dihalang-halangi untuk hadir dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas
kehidupannya. Tuhan dijauhkan, dilemparkan dari peradaban dan pola pikir
manusia yang semakin maju. Tuhan tidak diperbolehkan mengontrol politik, hukum,
tidak diperkenankan ikut menentukan kebijakan, mengelola keuangan dan menata
keadilan. Manusia hanya sesekali saja mengundang-Nya dalam doa, itupun kalau
sudah keadaan begitu gawat. Maka jangan heran kalau doa-doa yang sering dipanjatkan
tak kunjung membuat Tuhan datang dan mengabulkan. Salah kita sendiri karena
selama ini kita telah menjauhkan-Nya sedemikian rupa," (Sarudin)
Hati Yang Vibratif (Buzz)
"Jika engkau sering
memberikan nasehat kepada orang lain tetapi orang-orang yang kau nasehati tak
kunjung berubah menjadi baik, maka jangan salahkan mereka apalagi menudingnya
sebagai manusia berhati batu. Coba periksa lagi dirimu, kekhusyukanmu dan
kesucian hatimu. Kau gagal memberi nasehat mungkin karena vibrasi batinmu lemah
sehingga ribuan nasehat yang kau lontarkan tak kunjung menggetarkan kesadaran
orang-orang." (Sarudin)
Doa
"Engkau setiap hari berdoa,
anakku. Namun seringkali dalam keyakinanmu, Tuhan tidak benar-benar engkau
posisikan sebagai penentu utama dari terkabulnya doa itu. Tuhan engkau
posisikan hanya sebagai kekuatan sampingan belaka karena yang paling engkau
percayai dalam hidupmu adalah dirimu sendiri, ilmumu, keterampilanmu,
relasi-relasi yang kau miliki, status sosial dan jumlah hartamu."
(Sarudin)
Dosa
"Nak, kau boleh melakukan
dosa terus-menerus kepada Allah asal kau memiliki keberanian untuk dua hal.
Berani memohon ampun dan berani menahan siksa-Nya." (Sarudin).
Keyakinan
"Sebagai tebusan atas
kurangnya keyakinanmu bahwa Tuhan akan bertanggung jawab terhadap rizkimu, maka
bekerjalah sekuat tenaga. Kecuali kualitas imanmu sudah menyamai Abu Bakar
Shiddiq, yang ketika ditanya bagaimana nasib keluarganya setelah semua harta
yang ia miliki diserahkan untuk kepentingan agama, ia dengan entengnya
menjawab, "Aku pasrahkan mereka semua kepada Allah." (Sarudin)
Berlebihan
"Hei, Cucu! Seperti apa
berlebih-lebihan itu ukurannya memang sangat subjektif. Tetapi jangan terlalu
subjekti sampai membuatmu egois, dan juga harus ada keberanian untuk
membandingkan secara diametral antara kamu dan orang lain. Misal, kalau kamu
punya 25 potong baju, sementara orang di sampingmu hanya punya 6 potong, maka
di hadapan kondisi semacam itu kamu bisa disebut berlebih-lebihan. Maka spirit
agamanya bukanlah seberapa kuat kamu membeli banyak baju, tetapi seberapa kuat
kamu menahan diri untuk tidak memiliki baju lebih di saat rekanmu itu malah
kekurangan baju.” (Sarudin)
Masalah Dalam Hidup
"Masalah boleh menggerus
hidupmu. Problem boleh melindas-lindas jiwamu. Tetapi engkau diijinkan hidup
oleh-Nya bukan untuk menikmati ketergerusan dan keterlindasan tanpa mau belajar
melakukan apa yang harus diperbuat setelah itu. Hidup itu bagaikan pohon mawar
dengan segenap duri-durinya. Saat kau melihat mawar itu, jangan fokuskan hanya
pada tajam runcing duri-durinya. Tetapi tataplah pada kelompaknya. Ada pucuk
sari yang menandakan bahwa harapan itu masih ada dan bertahta di atas
segala." (Sarudin)
Rakyat Kecil-Rakyat Besar
“Kita, boleh saja hidup di bawah
kepemimpinan orang-orang yang tidak jujur, suka menipu, dan suka memprovokasi
agar terjadi kekerasan. Tetapi, kita harus memiliki prinsip untuk tetap menjadi
rakyat yang jujur, tidak suka menipu, santun, ramah dan rendah hati. Sebab
kalau tidak begitu, apa lagi yang bisa kita banggakan sebagai rakyat kecil.
Boleh saja dalam konteks bernegara serta dalam pandangan sesama manusia kita
disebut sebagai rakyat kecil karena posisi kita memang dipimpin, bukan
memimpin. Tetapi di hadapan Tuhan, kita justru bisa menjadi rakyat besar
(manusia mulia dan bermartabat) dengan kegigihan kita memegang dan menjalankan
prinsip-prinsip di atas. Cuma masalahnya, kita seringkali berambisi untuk
menjadi pribadi-pribadi yang terpandang di hadapan mata lamur sesama manusia,
namun kurang berambisi untuk menjadi manusia terpandang di mata Tuhan.”
(Sarudin)
Dari Energi Takbir ke Energi Sosial
“Aku berpikir bahwa shalat itu
memang peristiwa besar (vertikal-spiritual) yang efek vibrasi ruhaninya harus
mampu memberikan pengaruh positif kepada hal-hal “kecil” (horizontal-sosial).
Lihat saja, ia dimulai dengan takbir, sebuah prosesi berdimensi ruhani dimana
kita tidak boleh tidak harus menghilangkan segala bentuk egoisme diri dan hanya
mengagungkan Allah yang Maha Besar. Lalu kemudian ia ditutup dengan salam, sebuah
pernyataan cinta dan upaya menebar kasih sayang kepada siapa saja. Maka wajar
kalau Rasulullah berkata bahwa shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang yang
beriman. Dan sebagaimana Rasulullah yang tidak menetap di langit dan memilih
untuk kembali ke bumi guna menebar kasih sayang dan kesejahteraan, maka
sejatinya seperti itulah kita yang masih rajin shalat; mengagungkan Allah
semata untuk kemudian menaburkan kasih sayang pada sesama.” (Sarudin)
Manusia-Manusia yang Diremehkan
“Ketika engkau dilecehkan orang
lain atas adanya suatu kekurangan pada dirimu, maka bersabarlah. Sedapat
mungkin tahanlah ego dan amarahmu. Kau hanya perlu percaya bahwa siapa saja
yang melecehkan pasti mereka juga akan dilecehkan. Dan kau juga perlu sadar
bahwa orang yang melecehkanmu maka itulah kekurangan yang ada pada dirinya. Dan
kau tak perlu balas melecehkan kekurangan mereka.” (Sarudin)
Posisi Derajat Nabi
"Posisi
derajat Rasulullah itu sendiri sebenarnya jauh melampaui ruang. Tak bisa
dibekap oleh waktu. Maka baginya tak berlaku lagi
segala bentuk anggapan-anggapan, entah itu baik atau buruk. Jika Rasulullah
baik dan suci maka hal itu bukan karena anggapan dan sanjungan dari umatnya,
melainkan karena Tuhan sendiri yang menghendakinya demikian. Dan ketika Tuhan
menyelimuti kekasihNya itu dengan kebaikan, maka pelecehan mana yang sanggup
mengebiri kebaikannya."(Sarudin)
Perihal
Kekecewaan
"Seperti
biasa, ada orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh, setengah sungguh-sungguh
dan sama sekali tidak sungguh-sungguh namun tetap diperlihatkan sebagai sebuah
kesungguhan. Karena sedemikian kompleksnya kandungan hati dan kepentingan
setiap manusia, engkau harus terus berdoa kepada Tuhan agar diberi penglihatan
yang jernih untuk bisa membedakan dari ketiga tipe orang seperti itu. Sebab
kalau tidak begitu, engkau harus kembali mempersiapkan diri untuk kecewa karena
orang yang engkau sangka bersungguh-sungguh itu bisa saja sama sekali tidak
bersungguh-sungguh. Engkau boleh ambil contoh tentang pemberantasan korupsi
misalnya atau apa saja yang berhubungan dengan pengalaman dan realitas hidupmu.
Tetapi semua tahu, bahwa sebagai rakyat kecil engkau sudah terlalu sering
dikecewakan. Sehingga siapa saja patut khawatir, karena terlalu seringnya
kecewa, engkau lantas menjadi imun terhadap kekecewaan itu sampai engkau
diam-diam tetap bersedia untuk terus dikecewakan dan menganggap semua itu
adalah kejadian yang biasa-biasa saja." (Sarudin)
Dhuha
“Balasan berupa
harta dunia dari shalat Dhuha yang kau kerjakan adalah bonus dari pahala yang lebih
hakiki. Yaitu bertambah dekatnya engkau kepada-Nya dan bertambah kuat
pengabdianmu pada keagungan-Nya. Jika melalui Dhuha hatimu telah berpaut erat
dengan-Nya dan kemesraanmu sudah tak lagi terkirakan bersama-Nya, maka harta
duniamu yang berlimpah-limpah itu tentu tak akan berhuni begitu dalam di ceruk
hatimu dan engkau dapat mentasharrufkannya
dengan begitu mudah seolah-olah engkau berludah dan membuang upil.” (Sarudin)
Dosa
Tanpa Api Neraka
“Ketika
dosa telah engkau anggap menyenangkan dan begitu manis untuk dinikmati, maka
engkau akan selalu gagal untuk menghindarinya. Engkau telah tersihir begitu
rupa olehnya. Maka ingatlah kata-kata Iqbal, 'Hidupkan laku ibadat Musa segala
sihir akan hilang kegunaannya.' Jika hidupmu terus-terusan dipenuhi oleh dosa
sampai kelak
ajalmu tiba, jangan berharap engkau akan dilempar ke dalam neraka. Sebab api
neraka itu itupun akan enggan membakarmu karena tidak ingin kesuciannya
terkotori oleh dosa-dosamu. Maka pikirkanlah. Jika neraka saja enggan
membakarmu karena tidak ingin terkotori oleh dosamu, kemana lagi engkau akan
terempas selain ke dalam kemurkaan-Nya. Dan kemurkaan Allah itu jauh lebih
membara panasnya dari kobaran-kobaran api itu sendiri."(Sarudin)
Dari
Allahu Akbar Sampai Seekor Kucing
"Jika
engkau teriakkan kalimat Allahu Akbar dengan suara lantang dan wajah garang
memerah seperti orang sedang marah, maka aku dapat memahamimu dengan dua hal.
Pertama, kau mungkin merasa Allah itu jauh darimu dan karenanya kau teriakkan
nama-Nya yang Agung itu dengan harapan biar Dia mendekat. Kedua, mungkin saja
Allah sudah begitu dekat dengan dirimu namun sayangnya selama ini kau
melupakan-Nya sehingga teriakanmu itu berfungsi sebagai pengingat terhadap
kelupaanmu itu."
Seperti biasa,
kalau sudah disuguhi kopi dan rokok, sahabat dan guru saya Sarudin ini langsung
berkhotbah. Tidak peduli temanya apa. Yang ada di dalam batok kepalanya, itulah
yang ia sampaikan. Seperti apa yang ia katakan di atas itu. Tanpa babibu, ia
langsung nerocos sambil menghisap LA Mentholku yang tinggal dua batang. Dan
seperti biasanya juga, saya selalu berusaha menimpali meski kerap dengan
keadaan terpaksa.
“Lalu bagaimana
jika ada orang berteriak-teriak mengumandangkan takbir pada saat ia melihat
indahnya pemandangan alam, Bang?” tanyaku.
“Apa memang ada
orang seperti itu?” katanya balik bertanya. “Mungkin ada tapi sedikit. Atau
bahkan jarang dan mungkin tidak ada sama sekali. Biasanya, orang yang terpesona
oleh keindahan alam ciptaan Tuhan, maka pekikan takbirnya lantang menggema
hanya di kedalaman kalbu mereka. Dan meski begitu, getaran takbirnya tetap
memendar ke segala penjuru.”
“Terus menurut
Abang takbir itu harus kita perlakukan seperti apa, dong?”
“Salman!
Lama-lama ketololanmu makin membengkak juga ya. Takbir atau bacaan Allahu Akbar
itu, kalau engkau renungkan, maka ia layaknya sebuah benteng, sebuah
penghalang, yang menghalangi kecenderunganmu untuk berlaku sombong, menganggap
bahwa diri kamu sendiri yang paling benar, paling suci, paling mengerti agama,
paling tahu apa maunya Tuhan. Ketika engkau membaca Allahu Akbar, maka engkau
sebenarnya sedang mengkarantina apa pun yang kau miliki dan kau anggap pantas
untuk disombongkan, dibangga-banggakan. Sebab yang besar dan tidak ada yang
melebihi kebesarannya itu hanyalah Tuhan. Hanyalah Allah. Dan kau tak lebih
dari butiran-butiran debu yang dapat terpental jauh dan terjerembab oleh
sekadar dengus nafas seekor kucing.”
“Lho. Kok
kucing. Apa hubungannya?”
“Itu lihat.
Kucingmu datang mau minta makan. Sana, kasih makan dulu!”
(Sarudin)
Banjir
Ibu Kota Jakarta
"Di
Jakarta, kita mungkin dapat menemukan sedemikan banyak definisi banjir. Dan
kita perlu mengurainya. Satu persatu. Agar genangannya tidak mengancam
keselamatan, tidak menenggelamkan segala sesuatu yang mustinya hidup, tumbuh
dan berkembang. Mari terus berdoa untuk Jakarta dan segenap orang-orang yang
berdiam di dalamnya. Lupakan sejenak meski dari Ibu Kota Jakarta itu pula kita
kerap mendengar banyak hal yang kurang menyenangkan dan memalukan. Semoga
banjir di Ibu Kota Jakarta kali ini mampu menggerakkan pemerintah membangun
tanggul-tanggul yang kokoh. Tidak hanya tanggul di luar namun juga
tanggul-tanggul di dalam diri kita agar banjir yang dianggap menyengsarakan ini
bukan lagi dipahami sebagai luapan air, namun juga bisa luapan ambisi, luapan
keserakahan, luapan kebohongan, luapan ketidakpedulian dan sebagainya dan
sebagainya." (Sarudin)
Tak
Usah Kampanye
Selesai
mandikan Ataka anakku, Sarudin muncul. Manusia aneh ini langsung aja ceramah
depan pintu, "Niat untuk berbuat baik itu bagus. Tetapi yang kadang
menjadikannya kurang elok adalah keinginan untuk menggembar-gemborkannya
sebelum niat itu dilakukan. Bahkan juga akan menjadi kurang elok kalau harus
pake acara publikasi segala bahwa kita telah berbuat baik ini dan itu. Kanjeng
Nabi Muhammad Saw pernah membuat
suatu gambaran, kalau tangan kananmu memberi shadaqah maka jangan sampai tangan
kirimu tahu. Ini semacam ilmu bahwa mempublikasi perbuatan baik itu tak
semuanya baik."
Saya protes, "Tapi bagi saya itu juga perlu
dilakukan Bang biar jadi contoh teladan yang baik bagi orang lain."
"Semprul kamu. Gaya sekali kamu ingin
diteladani orang lain. Kalau kamu berbuat sesuatu hanya karena ingin diteladani
orang, maka perbuatanmu batal, dodol," sahut Sarudin.
"Ya nggak juga, Bang. Saya berbuat baik karena
Allah, tapi apa salahnya jika saya perlu cerita apa yang sudah saya lakukan
biar orang lain juga tertarik untuk melakukannya," jawab saya.
"Wadalaah, ini aku yang belum ngomongkan atau
kamu yang goblok. Ingat, orang bisa mengambil pelajaran dari orang lain bukan
karena perbuatan baiknya, tapi bisa juga dari perbuatan buruknya. Kalau begitu,
kamu beritakan juga donk kalau kamu dulu itu ya maling, pemabuk, pecandu
wanita. Siapa tahu orang lain bisa ngambil pelajaran."
"Nah, yang itu aib Bang, jadi tak perlu
diomongkan."
"Perbuatan baik yang diomong-omongkan juga tak
ada jaminan akan bernilai baik. Ia juga bisa menjadi aib. Sebab kalau orang
sudah senang memberitakan amal baiknya pada orang lain, maka batas antara
keikhlasan dan riya'nya itu sangatlah tipis. Mungkin ini sebabnya, Kanjeng Nabi
menyuapi si Yahudi buta diam-diam sampai-sampai Abu Bakar sendiri baru tahu sesudah
beliau meninggal."
"Itu kan Nabi, Bang. Beda, tak bisa ditiru
dia." aku membela diri
"Sompret. Terus kamu mau niru siapa, Mak
Lampir, Genderuwo, Abu Jahal. Sotoy lo ya. Dasar otak kadal."
(Sarudin)
Perang Lebay
Semalam
sehabis ngajari anak-anak baca
Al-Qur’an, sahabat saya si Sarudin datang. Lalu seperti biasa dia ngajak
diskusi. Cuma kali ini yang dia bicarakan soal banyaknya poster berisi
gambar-gambar calon pejabat plus kata-kata
yang menurutnya super lebay bin alay itu.
“Ternyata,”
kata Sarudin, “Tidak semua calon pejabat itu sama sifat kepribadiannya dengan
apa yang diiklankan, atau paling tidak mendekati sama dangan kalimat-kalimat
yang ditampilkan di poster-poster pinggir jalan.”
“Kok
bisa begitu, Bang?” tanya saya.
“Tentu saja. Sebab yang utama bagi
mereka adalah ngiklan dulu, lebay dulu, narik perhatian dan simpati
massa dulu, memperoleh calon pemilih sebanyak-banyaknya dulu. Persoalan dia
tidak jujur-jujur amat sebagaimana yang dituliskan di poster, itu kan
urusan lain. Yang penting lolos dulu jadi pejabat,” jawabnya sambil
nyalakan rokok.
“Wah,
kalau begitu berbahaya donk, Bang.
Orang yang memilihnya jadi tertipu semua. Disangka jujur eh kok malah
lacur,” sela saya.
“Memang
berbahaya. Tetapi kan hanya orang-orang dungu yang tetap maksa
melakukan hal-hal berbahaya meskipun ia tahu kalau itu berbahaya. Hanya
orang-orang sinting yang berani mengambil resiko akibat dari
kebohongannya dengan cara mengatakan bahwa dia adalah sosok yang jujur.”
“Wah…kau
berlebihan, Bang. Memangnya Abang anggap semua calon pejabat itu buruk,
tidak jujur? Penilaian Abang kurang objektif juga kalau begitu. Sebab nyatanya
ada juga toh diantara mereka yang baik,” sergah saya.
“Saya
setuju saja, bahwa tidak semua calon pejabat, calon anggota DPR itu semuanya
buruk, penipu dan tidak jujur. Tetapi yang saya kurang setujui adalah keputusan
mereka untuk menjejali masyarakat dengan kata-kata super lebay dan alay itu.
Rakyat itu tidak butuh kata lebay. Pun juga mereka sangat tidak butuh untuk
diyakinkan dengan menggunakan jargon-jargon yang berlebihan mengenai calon
pemimpinnya. Rakyat terlalu sakit hatinya untuk disakiti kembali dengan
kata-kata gombal penuh rayuan.”
“Lalu
gimana donk?”
“Seandainya
mereka benar-benar ingin berjuang untuk rakyat, mestinya jauh-jauh hari sebelum
diadakan pemilu mereka sudah melakukan sesuatu untuk mereka. Mereka seharusnya
turun menyambangi kampung penderitaan rakyat minimal lima tahun sebelum pemilu
dilangsungkan. Tapi kalau para calon pejabat itu baru mau menemui rakyat pada
saat-saat menjelang pemilu, dan itupun dengan cara menjual tampang dan
kata-kata, maka apakah itu tidak lebay namanya. Lebay sangat itu.”
Saya
mengangguk.
“Tapi
Bang Sarudin percaya kan bahwa tidak semua calon pejabat, baik calon
gubernur, presiden, bupati dan anggota DPR itu semuanya buruk?”
“Percaya.
Dua ribu riyus kagak pake ngutang saya percaya,” jawabnya.
“Itu
artinya, kalau misalnya suatu waktu nanti saya mau nyalon jadi anggota
DPR, Bang Sarudin mau kan bantu saya?”
“Bantu
apaan?”
“Bantu
buatkan kata-kata yang bagus, indah dan yaa…lebay itu tadi. Biar
orang-orang yakin memilih saya dan saya juga pun dengan kata-kata itu jadi
makin pede untuk terus maju mencalonkan diri.”
Sarudin
diam sejenak. Seperti sedang memikirkan satu jawaban yang tepat untuk
pertanyaan saya.
“Pren,”
katanya tiba-tiba, “Aku tahu kamu itu orang baik, jujur. Aku juga percaya
kalau kamu bakalan bisa menjadi pejabat yang bersih dan bermartabat. Apalagi
yang aku tahu, kamu itu juga sholeh, hatinya suci dan pikirannya bersih. Cuma ada
satu hal yang perlu kamu sadari.”
“Apa
itu, Bang?”
“Orang
yang benar-benar sholeh, jujur, benar-benar setia pada perjuangannya, bersih
pikirannya dan suci hatinya, mereka sudah tidak butuh untuk diiklankan,
diposter-balehokan. Ia tidak lantas menjadi tambah percaya diri karena taburan
kata-kata mengenai dirinya dan pujian-pujian atas dirinya. Jadi ini berbanding
terbalik dengan orang-orang yang rasa percaya dirinya buruk. Semakin mereka
tidak percaya diri, maka semakin banyaklah ia menyebar kata-kata mengenai siapa
dirinya. Semakin gencarlah ia membalehokan kehabatan-kehebatannya. Kau paham toh?”
Saya mengangguk dan saya lihat
Sarudin menguap penuh kantuk.
Kematian-Ketakterdugaan
"Semua makhluk yang bernyawa pada akhirnya akan
mati. Dan kematian itu sendiri adalah bukti, betapa kita ini sesungguhnya tidak
memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan kehidupan dari kematian. Minggu
lalu, tetangga saya di Madura meninggal dunia. Kemarin, tetangga saya di
Kebumen dan juga seorang teman di Jogja meninggal dunia. Ya, kematian selalu
menyisakan kesedihan dan kehilangan, terutama bagi keluarga, sahabat dan
rekan-rekan terdekat. Tuhan merahasiakan betul kapan kematian seseorang akan
datang, agar kita senantiasa memiliki kesadaran untuk sedari awal melakukan persiapan.
Kematian adalah ketidakterdugaan. Ia bisa datang menit ini atau waktu nanti
kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Orang yang hanya fokus
memikirkan kehidupannya, kemungkinan ia lengah pada kematiannya. Sementara
orang yang hanya fokus memikirkan kematiannya, kemungkinan ia juga lengah pada
kehidupannya. Tidak, agama tidak mengajari kita menjadi manusia yang lengah.
Justru, agama mengajari kita untuk selalu menjadi manusia waspada. Sedangkan
kewaspadaan itu hanya bisa dilakukan saat kita masih bersanding dengan
kehidupan. Selama hidup dijalani dengan waspada, kematian yang tak terduga itu
insya Allah bisa kita jalani dengan senyum tawa. Selamat jalan kepada teman dan
tetangga saya yang sudah tiada. Marilah kita yang hidup selalu waspada sebelum
tiada."
Jam Dinding dan
Kita
Lihatlah sebuah
jam. Pilihlah angka 11 atau angka mana saja yang kita suka. Pada angka itu,
kedua jarum jam selalu saja menciptakan momentum-momentum berupa saling
mendekati dan juga sebaliknya, menjauhi. Jam 11 kurang 11 (pasti bakal
mendekati 11:00), atau jam 11 lewat 11 (pasti akan menjauhi 11:00). Dan kita
baru menyebutnya jam 11 pas kalau kedua jarum jam tersebut sudah tak
menciptakan atau kosong dari
moment-moment itu lagi, makanya kita sebut jam 11:00. Namun karena proses
itulah waktu terus terasa hidup. Mungkin sama seperti dirimu bagiku. Tidak
semuanya dari dirimu, baik pikiran dan sikapmu yang benar-benar pas, sama atau
sejalan dengan pikiran dan sikapku. Kalaupun ada, itu hanya sesaat. Sama
seperti jam 11:00 yang waktunya hanya sebentar itu. Tetapi kita tidak perlu
merisaukan persamaan walaupun terjadi hanya sebentar. Sebab ia tercipta dari
moment-moment yang saling mendekatkan dan mempertemukan. Itulah yang membuat
kita seperti terus memiliki harapan untuk selalu menyatu dan menanti
kebersamaan yang pasti terwujud. Jam 11 kurang 30 atau 50 tak berarti apa-apa
karena angka kekurangan itu adalah perjalanan, proses untuk saling mendekati
persamaan, ke-pas-an. Dan biarpun pada akhirnya ada ketidak-pas-an atau sebuah
sikap yang berbeda dan menjauh, seperti jam 11 lewat 02, 10,30,40 dan
seterusnya, kita pun tak usah risau. Toh, jarum jam masih berputar, dan kita
masih memiliki kesempatan untuk saling mendekati lagi, menciptakan kesamaan,
keselarasan dan ke-pas-an di waktu-waktu yang pasti datang. Maka, perbaikilah
jam dindingmu, dan gantilah baterenya dengan yang baru agar kita bisa mudah
membaca waktu dan tak kecewa meski harus menunggu.
(Sarudin)
Kebenaran dan
Perang
Saya melakukan ini berdasarkan dalil yang saya yakini
benar dan kuat kedudukannya.
Sedang kamu tidak melakukan yang saya kerjakan juga
berdasar dalil yang kamu yakini kuat & benar.
Dan kamu sendiri, melarang, mencerca, dan
mengutuk-ngutuk apa yang saya lakukan juga berdasar dalil yang kuat dan kau
yakini kebenarannya.
Lalu kita bertengkar demi suatu kebenaran yang kita
sama-sama yakini paling benar.
Sedemikian serunya pertengkaran kita itu. Sedemikian
panasnya perdebatan kita itu. Saling mengerami geram. Saling menegang-negangkan
urat leher. Saling mengumbar amarah. Bahkan kalau perlu, kita pun saling
mengincar untuk saling menikam. Saling menumpahkan darah demi menegakkan
kebenaranmu atas ketidakbenaranku. Atau kebenaranku atas ketidakbenaranmu. Kita
yang bergeriung di sini, mengalirkan bising ke langit sana. Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penuh Ampun hanya berseru dengan heran, “Mau apa mereka?” Para
malaikat yang turut menyaksikan hanya berdesah, “Hambapun tak banyak mengerti.”
Sementara kita, makin menyiapkan diri untuk terus mangasah pedang, memancangkan
tiang permusuhan, mengibarkan kesumat dendam sambil diam-diam mempersilahkan
para setan iblis menjadi komandan.
(Sarudin)
Masa Depan
“Masa depan, jika masih berorientasi kepada masalah-masalah
dunia kemungkinan masih bisa teraba wujudnya dan bisa digapai hasilnya. Tetapi
kalau sudah menyangkut nasib diri di hadapan-Nya, baik menjelang kematian, alam
kubur, hari perhitungan, surga atau neraka, sungguh terasa sulit untuk
memastikannya. Bagaimana cara kematian menjemputku, bagaimana alam kubur menerima
kehadiranku, di hari perhitungan seperti apakah kondisiku, surga atau nerakakah
tempatku adalah pertanyaan yang harus terus digali dan dimunculkan jawabannya
di sepanjang jalan hidup yang masih tersisa ini. Memang mengkhawatirkan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Hanya doa dan keyakinan yang barangkali
sanggup memberikan ketenteraman.”
(Sarudin)
Tuhan yang Satu
untuk Semua
Ada satu ungkapan bijak orang Madura,
"De-emma'ah kéya. Jha' Pangéran séttong ékarobhudhi."(Emang dia
maunya apa, lha wong Tuhan yang Esa itu untuk kita semua kok). Atau kalau pakai
bahasa ngapak ala Betawi bisa berarti, "Emang ente maunya ape?. Kagak
nyadar apeh, Tuhan itu emang satu. Tapi Die milik kita pade."
Anda yang berasal dari Madura boleh tanya kebenaran
dari adanya ungkapan ini. Hanya saja begitulah orang Madura memahami pluralitas
yang berkembang. Di dalam ungkapan itu terselip kedewasaan dan kematangan batin
yang meniscayakan seseorang untuk tidak berlaku semena-mena pada orang lain.
Men-judge seenak perut sendiri pada orang lain yang ideologinya tak seirama
dengan kita.
Menganggap bahwa hanya ideologi kita yang paling
benar tentu itu baik. Agar dengannya kita bisa lebih terlatih memegang prinsip.
Tetapi yang kurang elok justru apabila kita menahbiskan diri sebagai yang
terbaik sambil lalu menghujat orang lain sebagai yang terjelek. Ini seperti
orang yang memuja hidungnya sendiri yang mancung dengan memencet hidung orang
lain yang pesek. Mengelus bibir sendiri yang sensual dengan memelintir bibir
orang lain yang dower.
Mohon maaf bagi pemilik hidung pesek dan bibir
dower. Anda tak perlu tersinggung apalagi iri pada saya yang kata embu' hidung
saya ini mirip Sakh Rukh Khan dan bibir saya mirip Angelina Jolie. Saya percaya
saja apa kata embu'. Dia tentu tidak sedang memfitnah saya. Baik pesek dan
mancung, dower dan sensual sejatinya berasal dari Tuhan yang Satu yang kata
orang Madura itu ékarobhudhi kan.
(Sarudin)
Ya Jangan
Sombong
"Kalau kita sendiri tak bisa menjamin, apakah
satu menit hingga lima menit ke depan kita masih akan hidup dan melihat
gemerlapnya dunia, maka jangan biarkan kesombongan menyesaki ruang dada.
Kecuali kita memiliki keberanian untuk jauh terbuang dari kasih sayang dan
ampunan-Nya."
(Sarudin)
Minuman Keras
Seorang santri bertanya, "Pak, kenapa Tuhan
mengharamkan kita minum minuman keras?" Bingung juga menjawabnya. Saya
sodori ayatnya dengan harapan bahwa itu memang perintah Tuhan, dianya masih
belum mau menerima. Akhirnya dapat juga jawaban yang membuat dia
mengangguk-angguk. "Karena," kata saya, "Tuhan amat sayang sama
kita dan Dia nggak rela kalau kita jadi gila, nggak waras, sakit dan mati hanya
karena sebuah benda cair itu." Semoga jawaban ini bisa bermanfaat buat dia
meski ngajinya sebulan sekali....heheee
Tahlilan
Sehabis
tahlilan, Sarudin ditunggu tetangganya yang justru antipati terhadap tahlilan.
Jangankan ikut bertahlil, mendengar kata tahlil saja raut wajahnya merah padam
penuh amarah seperti mendengar bisikan iblis yang mengajaknya dugem. Melihat
tetangganya itu, Sarudin sudah bisa nebak apa keperluan dia.
"Dari mana, Bang?" tanya tetangganya yang
laki itu.
"Biasa. Habis tahlilan," jawab Sarudin.
"Ah..tahlil lagi...tahlil lagi. Emang nggak tahu
apa, kalau tahlil itu bid'ah?"
"Biarin aja bid'ah."
"Kok biarin. Bid'ah itu sesat, Bang. Masuk neraka.
Nggak takut masuk neraka apa?"
"Takut sih, kalau yang nentuin saya masuk
nerakanya itu kamu. Tapi kalau Tuhan yang kepengen masukin saya ke neraka, ya
sudah, saya ikuti saja kehendakNya. Apapun kehendak Dia, insya Allah akan
menjadi surga buat saya."
"Meski Tuhan menghendaki Abang ke neraka?"
"Iya."
"Ah, Abang ini pikirannya sudah sesat
rupanya."
"Makanya saya ikut tahlil, biar saya nggak
sesat."
"Halah....susah ngomong sama Abang."
"Udah tahu susah, masih aja nguber-nguber
saya."
"Kalau begitu saya mau pulang."
"Pulanglah sana. Saya juga mau makan nasi berkat
nih. Nasi Berkat Bid'ah ini namanya. Pasti nikmat. Bismillah." Sarudin
mesem-mesem saja melihat raut wajah tetangganya yang keruh, mahal senyum. “Seperti
wajah-wajah penghuni neraka," katanya dengan lirih.