Minggu, 23 Februari 2014

Hari Ini Ada Cerita Baik yang Harus Kita Buat

Minggu sudah berlalu. Berarti kita akan kembali lagi pada rutinitas pekerjaan yang sudah menunggu. Ya, lima hari ke depan rentetan agenda pekerjaan sudah tersedia. Dan kita tidak memiliki pilihan lain kecuali harus menerimanya dengan semangat dan lapang dada.

Bosan? Pasti. Tidak ada rutinitas pekerjaan yang tidak menimbulkan kebosanan. Setiap orang pasti merasakan perasaan itu. Namun rasa bosan tetap tidak boleh kita biarkan mengacaukan segalanya. Menyerah kepada rasa bosan akan membuat kita benar-benar kehilangan banyak peluang.

Daripada menyerah kepada rasa bosan, akan lebih baik seandainya kita menciptakan hiburan-hiburan. Ini perlu meski untuk mendapatkan hiburan kita tidak usah keluar jauh-jauh dari ruangan tempat kita bekerja. Pun juga tidak usah mengeluarkan banyak biaya. Ciptakan hiburan dalam pikiran, itulah yang harus coba kita lakukan. Caranya? Mungkin bisa dengan cara begini:

Pertama, bagi yang sudah berkeluarga, ingatlah orang-orang tercinta di rumah. Di sana ada anak dan istri. Mereka adalah orang-orang yang secara langsung akan merasakan berkah dari hasil pekerjaan yang kita tekuni. Pun juga merekalah orang pertama yang akan ikut menanggung akibat buruk seandainya kita lalai terhadap pekerjaan kita sendiri. Untuk itu, tidak ada salahnya deh kalau kita memajang photo mereka di tempat kita bekerja.

Kedua, bagi yang belum berkeluarga namun punya keinginan kuat untuk nantinya berkeluarga juga, anggaplah bahwa pekerjaan yang ditekuni saat ini akan menjadi batu lonjatan sejarah yang akan mewarnai perjalanan kita saat ini hingga kita berkeluarga nanti. Prestasi kita hari ini akan menjadi cerita menarik untuk calon-calon orang tercinta kita kelak.

Ketiga, berusaha menikmati pekerjaan sendiri dengan tidak membayangkan betapa nikmatnya pekerjaan orang lain. Pikiran seperti ini yang terkadang membuat kita sering merasa bosan dengan pekerjaan. "Kayaknya enak ya kalau punya pekerjaan seperti si dia." Semakin sering berpikir seperti ini, sama halnya kita menganggap betapa buruknya pekerjaan diri sendiri. Kalau sudah demikian, jelas rasa bosan akan terus berdatangan.

So, ada benarnya deh kalau kita resapi kata-kata Pak Anthony de Mello SJ (1931-1987). Kata beliau, "Ada kalanya kalung yang kita cari-cari ternyata sudah lama menggantung di leher sendiri. Dan ada kalanya juga, ular yang kita takuti sebenarnya hanyalah seutas tali."

Untuk itu sobat, yakinlah bahwa hari ini ada cerita baik yang bisa kita buat. Begitupun untuk hari-hari kita berikutnya.

Jangan Serakah!!

"Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang." 

Lebih dari setengah abad yang lalu kata-kata di atas digaungkan oleh seseorang, dimana dunia tak akan pernah bisa menghapus namanya dari rotasi sejarah yang terus bergulir. Ya, kata-kata itu keluar dari mulut Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pejuang kemerdekaan India yang melawan segala bentuk diskriminasi penjajah Inggris dengan aksi-aksi damainya yang sangat memukau.

Namun, biarpun kata-kata itu sudah terlontar lebih dari setengah abad yang silam, tetapi kekuatan pesan yang dikandungnya seakan terus menemukan ruang-ruang pembenaran terutama pada saat keserakahan telah dengan begitu sempurna mewarnai beragam lini kehidupan umat manusia.

Keserakahan pada dasarnya adalah perwujudan paling realistis dari hilangnya garis tepi keinginan manusia. Sebab bukankah sesuatu yang tidak bisa dibatasi dari diri setiap manusia adalah keinginannya? Keinginan itu memanjang, memuai dan hanya ada dua hal yang dapat membatasi laju geraknya; rasa syukur dan kematian.
 
Seseorang yang mampu mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan bisa memperlambat meningkatnya intensitas keinginan liar mereka sehingga munculnya setiap keinginan dalam benak tidak lantas dijadikan sebagai hasrat yang tidak boleh tidak harus diwujudkan. Keinginan yang berpadu dengan kemampuan bersyukur akan berproses dan menjadikan pelakunya tahu batas serta memunculkan semangat kerja, bukan ambisi yang merajalela.

Karena itu, gemuruhnya kasus korupsi akhir-akhir ini menjadi contoh paling konkrit betapa para koruptor itu sebenarnya telah dibekap oleh keinginan mereka yang takberbatas. Jabatan berikut gaji besar yang mereka terima tidak lagi dipahami sebagai anugerah, melainkan peluang untuk menuntaskan dendam atas ambisi-ambisi yang bagi mereka wajib didapatkan.

Maka tak ada gunanya merawat kebanggaan atas kenyataan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, jika sebagian dari pemimpin-pemimpinnya tersandera oleh kegemaran korupsi dan keserakahan yang tanpa kendali. Benarlah ujar Mahatma Gandhi, bahwa dunia tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang.

Berjuang Itu Indah

Sebenarnya kondisi tubuh kurang fit benar. Batuk dan dingin. Tapi tidak ada salahnya mengesampingkan kondisi seperti ini demi mereka, anak-anak panti asuhan yang memang butuh pendampingan. Maka biarpun hujan, akhirnya tetap juga berangkat untuk ikut rapat program baru di Panti Asuhan Al-Amanah, Jatinegara Sempor Kebumen.

Sepanjang perjalanan saya membatin, "Apakah yang saya lakukan ini benar?" Secara logika dan ilmu kesehatan, kondisi tubuh yang kurang fit, batuk dan sedikit demam memang tidak boleh hujan-hujanan karena dapat membuat kondisi kesehatan makin memburuk. Namun adakalanya juga logika maupun ilmu tidak mutlak kebenarannya.

Barangkali keyakinan dan doa juga penting dilakukan. Ya, setelah membantin seperti itu, dalam hati saya berdoa semoga kondisi kesehatan saya tidak makin memburuk dengan menghadiri rapat yang bagi saya penting banget diikuti. Di samping itu, inilah barangkali waktu yang tepat bagi saya untuk belajar mewujudkan kata-kata yang sudah lama saya hapal, "mendahulukkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri."

Menjaga kesehatan itu penting bagi saya. Tapi menjaga keberlangsungan pendidikan untuk anak-anak panti asuhan juga tak kalah pentingnya. Jadi tidak apa-apa saya pilih melakukan hal yang kedua sambil memperhatikan juga hal yang pertama. Semoga perjuangan yang sederhana ini benar-benar berarti.

Jumat, 10 Januari 2014

Obrolan Singkat dan Memikat di Panti Asuhan.

Semalam, saudara Najamuddin Muhammad saya minta untuk bercerita di hadapan belasan anak-anak yang mendiami Panti Asuhan Amanah yang -Insya Allah- ke depan akan dirintis menjadi Pondok Pesantren. Apa yang disampaikan Najah untuk sebagian orang barangkali termasuk cerita yang sederhana. Namun saya pikir sangat bagus karena cukup menginspirasi bagi mereka yang selama ini memerlukan perhatian banyak pihak.

Jujur, saya sendiri terinspirasi oleh alm. Zainal Arifin Thaha yang selalu meminta setiap tamu yang berkunjung kepada beliau untuk bercerita di hadapan para santri-santrinya. Secara tematik, apa yang disampaikan oleh tamu-tamu Gus Zainal itu tergolong sederhana. Bahkan ada juga yang tergolong remeh. Namun pada saat cerita-cerita sederhana dan remeh yang berserakan itu dirangkum utuh dalam satu frame bernama kenangan, maka semuanya tidak lagi sesederhana yang dibayangkan.

Serakan cerita-cerita sederhana itu seakan menjadi celah bagi kita untuk menemukan apa yang barangkali kita butuhkan namun tidak mudah ditemukan. Atau bisa saja menjadi semacam umpan yang dapat mengantarkan kita kepada satu kesadaran bahwa ternyata banyak hal berharga di dunia ini yang bisa kita pungut. Dimana saja, dari siapa saja.

Dan itulah yang ingin saya lakukan untuk anak-anak di panti. Saya ingin mereka yang sudah memiliki kompleksitas persoalan hidup menjadi semakin tidak berdaya di hadapan kehidupannya sendiri. Saya tidak ingin mereka merasa lemah karena tidak ada yang menguatkan. Saya tidak ingin mereka merasa sendiri karena tidak banyak yang mau menemani. Saya tidak ingin mereka frustasi karena tidak banyak yang memotivasi. Untuk tujuan itulah saya mengajak beberapa teman yang berkunjung ke rumah saya untuk berbagi cerita dengan mereka. Semalam Najah, dan nanti malam Fakih.

Saya tidak memiliki pretensi muluk-muluk dengan apa yang sudah atau ingin saya lakukan untuk anak-anak di panti. Harapan saya adalah mereka bisa menyadari bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk maju dan berhasil.

Selamat berjuang teman-temanku!


Kebumen, 11 Januari 2014. 

 

Senin, 06 Januari 2014

Di Balik Syukur (an)

Syukuran. Mungkin kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga. Dan biasanya sangat edentik dengan acara makan-makan dan juga minum. Seseorang mengadakan syukuran karena ia mendapatkan sesuatu yang begitu istimewa sehingga ia perlu mensyukurinya. Tidak cukup lewat ungkapan 'alhamdulillah' semata, melainkan dengan mengadakan sebuah acara tertentu sambil mengundang orang lain, entah teman, kerabat maupun rekan kerja.

Dan semalam, saya juga melakukan hal itu. Karena saya mendapat anugerah istimewa dari Allah SWT melalui institusi terhormat negeri ini, saya pun perlu mensyukuri anugerah itu. Yang membuat segalanya terasa semakin istimewa bagi saya justru bukan acara makan-makannya saja. Tetapi karena dalam acara syukuran itu saya mengajak makan-makan semua anak panti asuhan AMNH dimana saya ikut membantu (mengajar) di sana.

Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat anak-anak itu begitu bergembira dengan acara syukuran yang saya rayakan. Kebahagiaan yang muncul lantaran saya -setidaknya- telah belajar untuk menjadikan mereka bergembira di tengah kompleksitas persoalan hidup yang mereka alami.

Satu hal yang juga perlu saya syukuri selain syukuran makan-makan seperti itu. Bahwa Allah SWT masih memperkenankan hati saya untuk memiliki kemaunan berbagi meskipun tidak seberapa. Sebab -dalam keyakinan saya- kebaikan apapun tak akan bisa saya lakukan tanpa dibarengi oleh kehendak-Nya juga. Syukran laka ya Allah. Semoga saya tetap Engkau ijinkan untuk melakukan apa yang Kau perintahkan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Amin

Kebumen, 07 Januari 2013.   

Senin, 04 November 2013

Satu Muharram Untuk Saya

Tak terasa, saya sudah memasuki usia 32 tahun. Sebuah rentang waktu yang tak singkat. Tentu ada beragam kejadian dan peristiwa tergelar sepanjang hayat yang sudah saya lalui di rentang waktu itu. Kesedihan, suka cita, optimisme dan sekaligus psimisme adalah rona-rona kehidupan yang jalin berkelindan yang mengisi sejarah hidup saya.

Seandainya Tuhan memberi jatah usia hidup saya sama persis dengan batas usia yang disematkan kepada kekasih-Nya, Muhammad Saw, maka tersisa 31 tahun lagi kesempatan saya berada di dunia ini. Tentu ini adalah jumlah waktu yang demikian panjang namun juga sekaligus singkat.

Dalam rentang waktu selama 32 tahun itu, apa yang sudah saya lakukan?

Terdengar begitu nyinyir pertanyaan ini oleh karena saya sendiri tak banyak memiliki inisiatif apapun untuk melakukan kebaikan. Saya hanya orang biasa, yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja. Atau bahkan saya sendiri jauh lebih rendah dari anggapan semacam itu. 

Ucapan selamat ulang tahun yang selalu diucapkan oleh rekan pada tanggal dan bulan kelahiran saya tiba di tiap-tiap tahunnya, seperti sebuah sapaan kosong yang sama sekali tidak memantikkan apa-apa di dalam jiwa. Padahal saya sadar bahwa mereka mengucapkan kata-kata itu selalu dengan sebuah harapan: Semoga Sukses, Tambah Berkah, Tambah Baik...dlsb.

Tapi apa yang terjadi? Tak ada. Saya benar-benar menjadi orang yang terbiasa dengan kehidupan saya sendiri. Tidur, makan, mandi, berak, beranak. Kalau demikian, apakah saya sedang menapaki lorong kesia-siaan selama rentang waktu yang panjang itu? Mungkin saja atau bahkan itu sudah pasti.

Dan hari ini, saya pun berulang tahun kembali. Tepat bersamaan dengan 1 Muharram bulan yang suci. Saya tak ingin merayakannya dengan pesta apapun, selain hanya dengan melantunkan bait-bait puisi:

Sesudah 32 Tahun

Sudah 32 tahun
Sejarah hidupku hanya terisi ribuan bualan
Bagai si gila yang selalu bingung
Menentukan pilihan

Tuhan! Apakah untuk kesia-siaan macam ini
Aku Engkau ciptakan?
Kaki melangkah
Bukan untuk menjemput apapun dari-Mu
Melainkan menghindar dan bersembunyi
Dari incara mata kasih sayang-Mu tulus itu

Sudah 32 tahun
Aku melata di atas bumi yang indah ini
Memanggul kehinaan teramat buruk
Dalam tingkah laku keji dan kemaruk

Hatiku hitam jelaga
Wajahku compang-camping karenanya
Akal pikiranku dipintal kebuntuan
Jiwa batinku menghalau kemurnian
Dan semua itu selalu kupertahankan
Selama 32 tahun

Tuhan! Engkau mungkin bertanya
Adakah hal baru yang bisa kulakukan
Pada sisa usia yang semakin bertanggalan?
Aku ragu menjawabnya
Bukan karena aku tak tahu
Tetapi, selama 32 tahun lamanya
Aku terbiasa
Memposisikan kebodohanku
Di atas segala-galanya

Tuhan!
Sudah 32 tahun
Kuhadiahi Engkau
Dengan hal-hal
Yang membosankan
     

Selasa, 29 Oktober 2013

Cuplikan Sarudin


Tuhan Disingkirkan

"Oleh manusia, Tuhan seringkali dihalang-halangi untuk hadir dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas kehidupannya. Tuhan dijauhkan, dilemparkan dari peradaban dan pola pikir manusia yang semakin maju. Tuhan tidak diperbolehkan mengontrol politik, hukum, tidak diperkenankan ikut menentukan kebijakan, mengelola keuangan dan menata keadilan. Manusia hanya sesekali saja mengundang-Nya dalam doa, itupun kalau sudah keadaan begitu gawat. Maka jangan heran kalau doa-doa yang sering dipanjatkan tak kunjung membuat Tuhan datang dan mengabulkan. Salah kita sendiri karena selama ini kita telah menjauhkan-Nya sedemikian rupa," (Sarudin)

Hati Yang Vibratif (Buzz)
"Jika engkau sering memberikan nasehat kepada orang lain tetapi orang-orang yang kau nasehati tak kunjung berubah menjadi baik, maka jangan salahkan mereka apalagi menudingnya sebagai manusia berhati batu. Coba periksa lagi dirimu, kekhusyukanmu dan kesucian hatimu. Kau gagal memberi nasehat mungkin karena vibrasi batinmu lemah sehingga ribuan nasehat yang kau lontarkan tak kunjung menggetarkan kesadaran orang-orang." (Sarudin)

Doa
"Engkau setiap hari berdoa, anakku. Namun seringkali dalam keyakinanmu, Tuhan tidak benar-benar engkau posisikan sebagai penentu utama dari terkabulnya doa itu. Tuhan engkau posisikan hanya sebagai kekuatan sampingan belaka karena yang paling engkau percayai dalam hidupmu adalah dirimu sendiri, ilmumu, keterampilanmu, relasi-relasi yang kau miliki, status sosial dan jumlah hartamu." (Sarudin)

Dosa
"Nak, kau boleh melakukan dosa terus-menerus kepada Allah asal kau memiliki keberanian untuk dua hal. Berani memohon ampun dan berani menahan siksa-Nya." (Sarudin).

Keyakinan
"Sebagai tebusan atas kurangnya keyakinanmu bahwa Tuhan akan bertanggung jawab terhadap rizkimu, maka bekerjalah sekuat tenaga. Kecuali kualitas imanmu sudah menyamai Abu Bakar Shiddiq, yang ketika ditanya bagaimana nasib keluarganya setelah semua harta yang ia miliki diserahkan untuk kepentingan agama, ia dengan entengnya menjawab, "Aku pasrahkan mereka semua kepada Allah." (Sarudin)

Berlebihan
"Hei, Cucu! Seperti apa berlebih-lebihan itu ukurannya memang sangat subjektif. Tetapi jangan terlalu subjekti sampai membuatmu egois, dan juga harus ada keberanian untuk membandingkan secara diametral antara kamu dan orang lain. Misal, kalau kamu punya 25 potong baju, sementara orang di sampingmu hanya punya 6 potong, maka di hadapan kondisi semacam itu kamu bisa disebut berlebih-lebihan. Maka spirit agamanya bukanlah seberapa kuat kamu membeli banyak baju, tetapi seberapa kuat kamu menahan diri untuk tidak memiliki baju lebih di saat rekanmu itu malah kekurangan baju.” (Sarudin)

Masalah Dalam Hidup
"Masalah boleh menggerus hidupmu. Problem boleh melindas-lindas jiwamu. Tetapi engkau diijinkan hidup oleh-Nya bukan untuk menikmati ketergerusan dan keterlindasan tanpa mau belajar melakukan apa yang harus diperbuat setelah itu. Hidup itu bagaikan pohon mawar dengan segenap duri-durinya. Saat kau melihat mawar itu, jangan fokuskan hanya pada tajam runcing duri-durinya. Tetapi tataplah pada kelompaknya. Ada pucuk sari yang menandakan bahwa harapan itu masih ada dan bertahta di atas segala." (Sarudin)

Rakyat Kecil-Rakyat Besar
“Kita, boleh saja hidup di bawah kepemimpinan orang-orang yang tidak jujur, suka menipu, dan suka memprovokasi agar terjadi kekerasan. Tetapi, kita harus memiliki prinsip untuk tetap menjadi rakyat yang jujur, tidak suka menipu, santun, ramah dan rendah hati. Sebab kalau tidak begitu, apa lagi yang bisa kita banggakan sebagai rakyat kecil. Boleh saja dalam konteks bernegara serta dalam pandangan sesama manusia kita disebut sebagai rakyat kecil karena posisi kita memang dipimpin, bukan memimpin. Tetapi di hadapan Tuhan, kita justru bisa menjadi rakyat besar (manusia mulia dan bermartabat) dengan kegigihan kita memegang dan menjalankan prinsip-prinsip di atas. Cuma masalahnya, kita seringkali berambisi untuk menjadi pribadi-pribadi yang terpandang di hadapan mata lamur sesama manusia, namun kurang berambisi untuk menjadi manusia terpandang di mata Tuhan.” (Sarudin) 

Dari Energi Takbir ke Energi Sosial
“Aku berpikir bahwa shalat itu memang peristiwa besar (vertikal-spiritual) yang efek vibrasi ruhaninya harus mampu memberikan pengaruh positif kepada hal-hal “kecil” (horizontal-sosial). Lihat saja, ia dimulai dengan takbir, sebuah prosesi berdimensi ruhani dimana kita tidak boleh tidak harus menghilangkan segala bentuk egoisme diri dan hanya mengagungkan Allah yang Maha Besar. Lalu kemudian ia ditutup dengan salam, sebuah pernyataan cinta dan upaya menebar kasih sayang kepada siapa saja. Maka wajar kalau Rasulullah berkata bahwa shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang yang beriman. Dan sebagaimana Rasulullah yang tidak menetap di langit dan memilih untuk kembali ke bumi guna menebar kasih sayang dan kesejahteraan, maka sejatinya seperti itulah kita yang masih rajin shalat; mengagungkan Allah semata untuk kemudian menaburkan kasih sayang pada sesama.” (Sarudin)

Manusia-Manusia yang Diremehkan
“Ketika engkau dilecehkan orang lain atas adanya suatu kekurangan pada dirimu, maka bersabarlah. Sedapat mungkin tahanlah ego dan amarahmu. Kau hanya perlu percaya bahwa siapa saja yang melecehkan pasti mereka juga akan dilecehkan. Dan kau juga perlu sadar bahwa orang yang melecehkanmu maka itulah kekurangan yang ada pada dirinya. Dan kau tak perlu balas melecehkan kekurangan mereka.” (Sarudin)   

Posisi Derajat Nabi
"Posisi derajat Rasulullah itu sendiri sebenarnya jauh melampaui ruang. Tak bisa dibekap oleh waktu. Maka baginya tak berlaku lagi segala bentuk anggapan-anggapan, entah itu baik atau buruk. Jika Rasulullah baik dan suci maka hal itu bukan karena anggapan dan sanjungan dari umatnya, melainkan karena Tuhan sendiri yang menghendakinya demikian. Dan ketika Tuhan menyelimuti kekasihNya itu dengan kebaikan, maka pelecehan mana yang sanggup mengebiri kebaikannya."(Sarudin)

Perihal Kekecewaan
"Seperti biasa, ada orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh, setengah sungguh-sungguh dan sama sekali tidak sungguh-sungguh namun tetap diperlihatkan sebagai sebuah kesungguhan. Karena sedemikian kompleksnya kandungan hati dan kepentingan setiap manusia, engkau harus terus berdoa kepada Tuhan agar diberi penglihatan yang jernih untuk bisa membedakan dari ketiga tipe orang seperti itu. Sebab kalau tidak begitu, engkau harus kembali mempersiapkan diri untuk kecewa karena orang yang engkau sangka bersungguh-sungguh itu bisa saja sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Engkau boleh ambil contoh tentang pemberantasan korupsi misalnya atau apa saja yang berhubungan dengan pengalaman dan realitas hidupmu. Tetapi semua tahu, bahwa sebagai rakyat kecil engkau sudah terlalu sering dikecewakan. Sehingga siapa saja patut khawatir, karena terlalu seringnya kecewa, engkau lantas menjadi imun terhadap kekecewaan itu sampai engkau diam-diam tetap bersedia untuk terus dikecewakan dan menganggap semua itu adalah kejadian yang biasa-biasa saja." (Sarudin) 

Dhuha
“Balasan berupa harta dunia dari shalat Dhuha yang kau kerjakan adalah bonus dari pahala yang lebih hakiki. Yaitu bertambah dekatnya engkau kepada-Nya dan bertambah kuat pengabdianmu pada keagungan-Nya. Jika melalui Dhuha hatimu telah berpaut erat dengan-Nya dan kemesraanmu sudah tak lagi terkirakan bersama-Nya, maka harta duniamu yang berlimpah-limpah itu tentu tak akan berhuni begitu dalam di ceruk hatimu dan engkau dapat mentasharrufkannya dengan begitu mudah seolah-olah engkau berludah dan membuang upil.” (Sarudin)

Dosa Tanpa Api Neraka
“Ketika dosa telah engkau anggap menyenangkan dan begitu manis untuk dinikmati, maka engkau akan selalu gagal untuk menghindarinya. Engkau telah tersihir begitu rupa olehnya. Maka ingatlah kata-kata Iqbal, 'Hidupkan laku ibadat Musa segala sihir akan hilang kegunaannya.' Jika hidupmu terus-terusan dipenuhi oleh dosa
sampai kelak ajalmu tiba, jangan berharap engkau akan dilempar ke dalam neraka. Sebab api neraka itu itupun akan enggan membakarmu karena tidak ingin kesuciannya terkotori oleh dosa-dosamu. Maka pikirkanlah. Jika neraka saja enggan membakarmu karena tidak ingin terkotori oleh dosamu, kemana lagi engkau akan terempas selain ke dalam kemurkaan-Nya. Dan kemurkaan Allah itu jauh lebih membara panasnya dari kobaran-kobaran api itu sendiri."(Sarudin)

Dari Allahu Akbar Sampai Seekor Kucing
"Jika engkau teriakkan kalimat Allahu Akbar dengan suara lantang dan wajah garang memerah seperti orang sedang marah, maka aku dapat memahamimu dengan dua hal. Pertama, kau mungkin merasa Allah itu jauh darimu dan karenanya kau teriakkan nama-Nya yang Agung itu dengan harapan biar Dia mendekat. Kedua, mungkin saja Allah sudah begitu dekat dengan dirimu namun sayangnya selama ini kau melupakan-Nya sehingga teriakanmu itu berfungsi sebagai pengingat terhadap kelupaanmu itu."
Seperti biasa, kalau sudah disuguhi kopi dan rokok, sahabat dan guru saya Sarudin ini langsung berkhotbah. Tidak peduli temanya apa. Yang ada di dalam batok kepalanya, itulah yang ia sampaikan. Seperti apa yang ia katakan di atas itu. Tanpa babibu, ia langsung nerocos sambil menghisap LA Mentholku yang tinggal dua batang. Dan seperti biasanya juga, saya selalu berusaha menimpali meski kerap dengan keadaan terpaksa.
“Lalu bagaimana jika ada orang berteriak-teriak mengumandangkan takbir pada saat ia melihat indahnya pemandangan alam, Bang?” tanyaku.
“Apa memang ada orang seperti itu?” katanya balik bertanya. “Mungkin ada tapi sedikit. Atau bahkan jarang dan mungkin tidak ada sama sekali. Biasanya, orang yang terpesona oleh keindahan alam ciptaan Tuhan, maka pekikan takbirnya lantang menggema hanya di kedalaman kalbu mereka. Dan meski begitu, getaran takbirnya tetap memendar ke segala penjuru.”
“Terus menurut Abang takbir itu harus kita perlakukan seperti apa, dong?”
“Salman! Lama-lama ketololanmu makin membengkak juga ya. Takbir atau bacaan Allahu Akbar itu, kalau engkau renungkan, maka ia layaknya sebuah benteng, sebuah penghalang, yang menghalangi kecenderunganmu untuk berlaku sombong, menganggap bahwa diri kamu sendiri yang paling benar, paling suci, paling mengerti agama, paling tahu apa maunya Tuhan. Ketika engkau membaca Allahu Akbar, maka engkau sebenarnya sedang mengkarantina apa pun yang kau miliki dan kau anggap pantas untuk disombongkan, dibangga-banggakan. Sebab yang besar dan tidak ada yang melebihi kebesarannya itu hanyalah Tuhan. Hanyalah Allah. Dan kau tak lebih dari butiran-butiran debu yang dapat terpental jauh dan terjerembab oleh sekadar dengus nafas seekor kucing.”
“Lho. Kok kucing. Apa hubungannya?”
“Itu lihat. Kucingmu datang mau minta makan. Sana, kasih makan dulu!”
(Sarudin)

Banjir Ibu Kota Jakarta
"Di Jakarta, kita mungkin dapat menemukan sedemikan banyak definisi banjir. Dan kita perlu mengurainya. Satu persatu. Agar genangannya tidak mengancam keselamatan, tidak menenggelamkan segala sesuatu yang mustinya hidup, tumbuh dan berkembang. Mari terus berdoa untuk Jakarta dan segenap orang-orang yang berdiam di dalamnya. Lupakan sejenak meski dari Ibu Kota Jakarta itu pula kita kerap mendengar banyak hal yang kurang menyenangkan dan memalukan. Semoga banjir di Ibu Kota Jakarta kali ini mampu menggerakkan pemerintah membangun tanggul-tanggul yang kokoh. Tidak hanya tanggul di luar namun juga tanggul-tanggul di dalam diri kita agar banjir yang dianggap menyengsarakan ini bukan lagi dipahami sebagai luapan air, namun juga bisa luapan ambisi, luapan keserakahan, luapan kebohongan, luapan ketidakpedulian dan sebagainya dan sebagainya." (Sarudin)

Tak Usah Kampanye
Selesai mandikan Ataka anakku, Sarudin muncul. Manusia aneh ini langsung aja ceramah depan pintu, "Niat untuk berbuat baik itu bagus. Tetapi yang kadang menjadikannya kurang elok adalah keinginan untuk menggembar-gemborkannya sebelum niat itu dilakukan. Bahkan juga akan menjadi kurang elok kalau harus pake acara publikasi segala bahwa kita telah berbuat baik ini dan itu. Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah membuat suatu gambaran, kalau tangan kananmu memberi shadaqah maka jangan sampai tangan kirimu tahu. Ini semacam ilmu bahwa mempublikasi perbuatan baik itu tak semuanya baik."
Saya protes, "Tapi bagi saya itu juga perlu dilakukan Bang biar jadi contoh teladan yang baik bagi orang lain."
"Semprul kamu. Gaya sekali kamu ingin diteladani orang lain. Kalau kamu berbuat sesuatu hanya karena ingin diteladani orang, maka perbuatanmu batal, dodol," sahut Sarudin.
"Ya nggak juga, Bang. Saya berbuat baik karena Allah, tapi apa salahnya jika saya perlu cerita apa yang sudah saya lakukan biar orang lain juga tertarik untuk melakukannya," jawab saya.
"Wadalaah, ini aku yang belum ngomongkan atau kamu yang goblok. Ingat, orang bisa mengambil pelajaran dari orang lain bukan karena perbuatan baiknya, tapi bisa juga dari perbuatan buruknya. Kalau begitu, kamu beritakan juga donk kalau kamu dulu itu ya maling, pemabuk, pecandu wanita. Siapa tahu orang lain bisa ngambil pelajaran."
"Nah, yang itu aib Bang, jadi tak perlu diomongkan."
"Perbuatan baik yang diomong-omongkan juga tak ada jaminan akan bernilai baik. Ia juga bisa menjadi aib. Sebab kalau orang sudah senang memberitakan amal baiknya pada orang lain, maka batas antara keikhlasan dan riya'nya itu sangatlah tipis. Mungkin ini sebabnya, Kanjeng Nabi menyuapi si Yahudi buta diam-diam sampai-sampai Abu Bakar sendiri baru tahu sesudah beliau meninggal."
"Itu kan Nabi, Bang. Beda, tak bisa ditiru dia." aku membela diri
"Sompret. Terus kamu mau niru siapa, Mak Lampir, Genderuwo, Abu Jahal. Sotoy lo ya. Dasar otak kadal."
(Sarudin)
 
Perang Lebay

Semalam sehabis ngajari anak-anak baca Al-Qur’an, sahabat saya si Sarudin datang. Lalu seperti biasa dia ngajak diskusi. Cuma kali ini yang dia bicarakan soal banyaknya poster berisi gambar-gambar calon pejabat plus kata-kata yang menurutnya super lebay bin alay itu.
“Ternyata,” kata Sarudin, “Tidak semua calon pejabat itu sama sifat kepribadiannya dengan apa yang diiklankan, atau paling tidak mendekati sama dangan kalimat-kalimat yang ditampilkan di poster-poster pinggir jalan.”
“Kok bisa begitu, Bang?” tanya saya.
“Tentu saja. Sebab yang utama bagi mereka adalah ngiklan dulu, lebay dulu, narik perhatian dan simpati massa dulu, memperoleh calon pemilih sebanyak-banyaknya dulu. Persoalan dia tidak jujur-jujur amat sebagaimana yang dituliskan di poster, itu kan urusan lain. Yang penting lolos dulu jadi pejabat,” jawabnya sambil nyalakan rokok.
“Wah, kalau begitu berbahaya donk, Bang. Orang yang memilihnya jadi tertipu semua. Disangka jujur eh kok malah lacur,” sela saya.
“Memang berbahaya. Tetapi kan hanya orang-orang dungu yang tetap maksa melakukan hal-hal berbahaya meskipun ia tahu kalau itu berbahaya. Hanya orang-orang sinting yang berani mengambil resiko akibat dari kebohongannya dengan cara mengatakan bahwa dia adalah sosok yang jujur.”
Wah…kau berlebihan, Bang. Memangnya Abang anggap semua calon pejabat itu buruk, tidak jujur? Penilaian Abang kurang objektif juga kalau begitu. Sebab nyatanya ada juga toh diantara mereka yang baik,” sergah saya.
“Saya setuju saja, bahwa tidak semua calon pejabat, calon anggota DPR itu semuanya buruk, penipu dan tidak jujur. Tetapi yang saya kurang setujui adalah keputusan mereka untuk menjejali masyarakat dengan kata-kata super lebay dan alay itu. Rakyat itu tidak butuh kata lebay. Pun juga mereka sangat tidak butuh untuk diyakinkan dengan menggunakan jargon-jargon yang berlebihan mengenai calon pemimpinnya. Rakyat terlalu sakit hatinya untuk disakiti kembali dengan kata-kata gombal penuh rayuan.”
“Lalu gimana donk?”
“Seandainya mereka benar-benar ingin berjuang untuk rakyat, mestinya jauh-jauh hari sebelum diadakan pemilu mereka sudah melakukan sesuatu untuk mereka. Mereka seharusnya turun menyambangi kampung penderitaan rakyat minimal lima tahun sebelum pemilu dilangsungkan. Tapi kalau para calon pejabat itu baru mau menemui rakyat pada saat-saat menjelang pemilu, dan itupun dengan cara menjual tampang dan kata-kata, maka apakah itu tidak lebay namanya. Lebay sangat itu.”
Saya mengangguk.
“Tapi Bang Sarudin percaya kan bahwa tidak semua calon pejabat, baik calon gubernur, presiden, bupati dan anggota DPR itu semuanya buruk?”
“Percaya. Dua ribu riyus kagak pake ngutang saya percaya,” jawabnya.
“Itu artinya, kalau misalnya suatu waktu nanti saya mau nyalon jadi anggota DPR, Bang Sarudin mau kan bantu saya?”
“Bantu apaan?”
“Bantu buatkan kata-kata yang bagus, indah dan yaa…lebay itu tadi. Biar orang-orang yakin memilih saya dan saya juga pun dengan kata-kata itu jadi makin pede untuk terus maju mencalonkan diri.”
Sarudin diam sejenak. Seperti sedang memikirkan satu jawaban yang tepat untuk pertanyaan saya.
Pren,” katanya tiba-tiba, “Aku tahu kamu itu orang baik, jujur. Aku juga percaya kalau kamu bakalan bisa menjadi pejabat yang bersih dan bermartabat. Apalagi yang aku tahu, kamu itu juga sholeh, hatinya suci dan pikirannya bersih. Cuma ada satu hal yang perlu kamu sadari.”
“Apa itu, Bang?”
“Orang yang benar-benar sholeh, jujur, benar-benar setia pada perjuangannya, bersih pikirannya dan suci hatinya, mereka sudah tidak butuh untuk diiklankan, diposter-balehokan. Ia tidak lantas menjadi tambah percaya diri karena taburan kata-kata mengenai dirinya dan pujian-pujian atas dirinya. Jadi ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang rasa percaya dirinya buruk. Semakin mereka tidak percaya diri, maka semakin banyaklah ia menyebar kata-kata mengenai siapa dirinya. Semakin gencarlah ia membalehokan kehabatan-kehebatannya. Kau paham toh?”
Saya mengangguk dan saya lihat Sarudin menguap penuh kantuk.

Kematian-Ketakterdugaan
"Semua makhluk yang bernyawa pada akhirnya akan mati. Dan kematian itu sendiri adalah bukti, betapa kita ini sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan kehidupan dari kematian. Minggu lalu, tetangga saya di Madura meninggal dunia. Kemarin, tetangga saya di Kebumen dan juga seorang teman di Jogja meninggal dunia. Ya, kematian selalu menyisakan kesedihan dan kehilangan, terutama bagi keluarga, sahabat dan rekan-rekan terdekat. Tuhan merahasiakan betul kapan kematian seseorang akan datang, agar kita senantiasa memiliki kesadaran untuk sedari awal melakukan persiapan. Kematian adalah ketidakterdugaan. Ia bisa datang menit ini atau waktu nanti kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Orang yang hanya fokus memikirkan kehidupannya, kemungkinan ia lengah pada kematiannya. Sementara orang yang hanya fokus memikirkan kematiannya, kemungkinan ia juga lengah pada kehidupannya. Tidak, agama tidak mengajari kita menjadi manusia yang lengah. Justru, agama mengajari kita untuk selalu menjadi manusia waspada. Sedangkan kewaspadaan itu hanya bisa dilakukan saat kita masih bersanding dengan kehidupan. Selama hidup dijalani dengan waspada, kematian yang tak terduga itu insya Allah bisa kita jalani dengan senyum tawa. Selamat jalan kepada teman dan tetangga saya yang sudah tiada. Marilah kita yang hidup selalu waspada sebelum tiada."

Jam Dinding dan Kita
Lihatlah sebuah jam. Pilihlah angka 11 atau angka mana saja yang kita suka. Pada angka itu, kedua jarum jam selalu saja menciptakan momentum-momentum berupa saling mendekati dan juga sebaliknya, menjauhi. Jam 11 kurang 11 (pasti bakal mendekati 11:00), atau jam 11 lewat 11 (pasti akan menjauhi 11:00). Dan kita baru menyebutnya jam 11 pas kalau kedua jarum jam tersebut sudah tak menciptakan atau kosong dari moment-moment itu lagi, makanya kita sebut jam 11:00. Namun karena proses itulah waktu terus terasa hidup. Mungkin sama seperti dirimu bagiku. Tidak semuanya dari dirimu, baik pikiran dan sikapmu yang benar-benar pas, sama atau sejalan dengan pikiran dan sikapku. Kalaupun ada, itu hanya sesaat. Sama seperti jam 11:00 yang waktunya hanya sebentar itu. Tetapi kita tidak perlu merisaukan persamaan walaupun terjadi hanya sebentar. Sebab ia tercipta dari moment-moment yang saling mendekatkan dan mempertemukan. Itulah yang membuat kita seperti terus memiliki harapan untuk selalu menyatu dan menanti kebersamaan yang pasti terwujud. Jam 11 kurang 30 atau 50 tak berarti apa-apa karena angka kekurangan itu adalah perjalanan, proses untuk saling mendekati persamaan, ke-pas-an. Dan biarpun pada akhirnya ada ketidak-pas-an atau sebuah sikap yang berbeda dan menjauh, seperti jam 11 lewat 02, 10,30,40 dan seterusnya, kita pun tak usah risau. Toh, jarum jam masih berputar, dan kita masih memiliki kesempatan untuk saling mendekati lagi, menciptakan kesamaan, keselarasan dan ke-pas-an di waktu-waktu yang pasti datang. Maka, perbaikilah jam dindingmu, dan gantilah baterenya dengan yang baru agar kita bisa mudah membaca waktu dan tak kecewa meski harus menunggu.
(Sarudin)

Kebenaran dan Perang
Saya melakukan ini berdasarkan dalil yang saya yakini benar dan kuat kedudukannya.
Sedang kamu tidak melakukan yang saya kerjakan juga berdasar dalil yang kamu yakini kuat & benar.
Dan kamu sendiri, melarang, mencerca, dan mengutuk-ngutuk apa yang saya lakukan juga berdasar dalil yang kuat dan kau yakini kebenarannya.
Lalu kita bertengkar demi suatu kebenaran yang kita sama-sama yakini paling benar.
Sedemikian serunya pertengkaran kita itu. Sedemikian panasnya perdebatan kita itu. Saling mengerami geram. Saling menegang-negangkan urat leher. Saling mengumbar amarah. Bahkan kalau perlu, kita pun saling mengincar untuk saling menikam. Saling menumpahkan darah demi menegakkan kebenaranmu atas ketidakbenaranku. Atau kebenaranku atas ketidakbenaranmu. Kita yang bergeriung di sini, mengalirkan bising ke langit sana. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penuh Ampun hanya berseru dengan heran, “Mau apa mereka?” Para malaikat yang turut menyaksikan hanya berdesah, “Hambapun tak banyak mengerti.” Sementara kita, makin menyiapkan diri untuk terus mangasah pedang, memancangkan tiang permusuhan, mengibarkan kesumat dendam sambil diam-diam mempersilahkan para setan iblis menjadi komandan.
(Sarudin)   

Masa Depan
“Masa depan, jika masih berorientasi kepada masalah-masalah dunia kemungkinan masih bisa teraba wujudnya dan bisa digapai hasilnya. Tetapi kalau sudah menyangkut nasib diri di hadapan-Nya, baik menjelang kematian, alam kubur, hari perhitungan, surga atau neraka, sungguh terasa sulit untuk memastikannya. Bagaimana cara kematian menjemputku, bagaimana alam kubur menerima kehadiranku, di hari perhitungan seperti apakah kondisiku, surga atau nerakakah tempatku adalah pertanyaan yang harus terus digali dan dimunculkan jawabannya di sepanjang jalan hidup yang masih tersisa ini. Memang mengkhawatirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Hanya doa dan keyakinan yang barangkali sanggup memberikan ketenteraman.”
(Sarudin)

Tuhan yang Satu untuk Semua
Ada satu ungkapan bijak orang Madura, "De-emma'ah kéya. Jha' Pangéran séttong ékarobhudhi."(Emang dia maunya apa, lha wong Tuhan yang Esa itu untuk kita semua kok). Atau kalau pakai bahasa ngapak ala Betawi bisa berarti, "Emang ente maunya ape?. Kagak nyadar apeh, Tuhan itu emang satu. Tapi Die milik kita pade."
Anda yang berasal dari Madura boleh tanya kebenaran dari adanya ungkapan ini. Hanya saja begitulah orang Madura memahami pluralitas yang berkembang. Di dalam ungkapan itu terselip kedewasaan dan kematangan batin yang meniscayakan seseorang untuk tidak berlaku semena-mena pada orang lain. Men-judge seenak perut sendiri pada orang lain yang ideologinya tak seirama dengan kita.
Menganggap bahwa hanya ideologi kita yang paling benar tentu itu baik. Agar dengannya kita bisa lebih terlatih memegang prinsip. Tetapi yang kurang elok justru apabila kita menahbiskan diri sebagai yang terbaik sambil lalu menghujat orang lain sebagai yang terjelek. Ini seperti orang yang memuja hidungnya sendiri yang mancung dengan memencet hidung orang lain yang pesek. Mengelus bibir sendiri yang sensual dengan memelintir bibir orang lain yang dower.
Mohon maaf bagi pemilik hidung pesek dan bibir dower. Anda tak perlu tersinggung apalagi iri pada saya yang kata embu' hidung saya ini mirip Sakh Rukh Khan dan bibir saya mirip Angelina Jolie. Saya percaya saja apa kata embu'. Dia tentu tidak sedang memfitnah saya. Baik pesek dan mancung, dower dan sensual sejatinya berasal dari Tuhan yang Satu yang kata orang Madura itu ékarobhudhi kan.
(Sarudin)

Ya Jangan Sombong
"Kalau kita sendiri tak bisa menjamin, apakah satu menit hingga lima menit ke depan kita masih akan hidup dan melihat gemerlapnya dunia, maka jangan biarkan kesombongan menyesaki ruang dada. Kecuali kita memiliki keberanian untuk jauh terbuang dari kasih sayang dan ampunan-Nya."
(Sarudin)

Minuman Keras
Seorang santri bertanya, "Pak, kenapa Tuhan mengharamkan kita minum minuman keras?" Bingung juga menjawabnya. Saya sodori ayatnya dengan harapan bahwa itu memang perintah Tuhan, dianya masih belum mau menerima. Akhirnya dapat juga jawaban yang membuat dia mengangguk-angguk. "Karena," kata saya, "Tuhan amat sayang sama kita dan Dia nggak rela kalau kita jadi gila, nggak waras, sakit dan mati hanya karena sebuah benda cair itu." Semoga jawaban ini bisa bermanfaat buat dia meski ngajinya sebulan sekali....heheee

Tahlilan
Sehabis tahlilan, Sarudin ditunggu tetangganya yang justru antipati terhadap tahlilan. Jangankan ikut bertahlil, mendengar kata tahlil saja raut wajahnya merah padam penuh amarah seperti mendengar bisikan iblis yang mengajaknya dugem. Melihat tetangganya itu, Sarudin sudah bisa nebak apa keperluan dia.
"Dari mana, Bang?" tanya tetangganya yang laki itu.
"Biasa. Habis tahlilan," jawab Sarudin.
"Ah..tahlil lagi...tahlil lagi. Emang nggak tahu apa, kalau tahlil itu bid'ah?"
"Biarin aja bid'ah."
"Kok biarin. Bid'ah itu sesat, Bang. Masuk neraka. Nggak takut masuk neraka apa?"
"Takut sih, kalau yang nentuin saya masuk nerakanya itu kamu. Tapi kalau Tuhan yang kepengen masukin saya ke neraka, ya sudah, saya ikuti saja kehendakNya. Apapun kehendak Dia, insya Allah akan menjadi surga buat saya."
"Meski Tuhan menghendaki Abang ke neraka?"
"Iya."
"Ah, Abang ini pikirannya sudah sesat rupanya."
"Makanya saya ikut tahlil, biar saya nggak sesat."
"Halah....susah ngomong sama Abang."
"Udah tahu susah, masih aja nguber-nguber saya."
"Kalau begitu saya mau pulang."
"Pulanglah sana. Saya juga mau makan nasi berkat nih. Nasi Berkat Bid'ah ini namanya. Pasti nikmat. Bismillah." Sarudin mesem-mesem saja melihat raut wajah tetangganya yang keruh, mahal senyum. “Seperti wajah-wajah penghuni neraka," katanya dengan lirih.